Kadek Suartaya. (BP/Istimewa)

Oleh Kadek Suartaya

Kisah Mayadanawa dikaitkan dengan Galungan, sebuah perayaan keagamaan umat Hindu di Bali (Indonesia) yang dimaknai sebagai ungkapan syukur
kemenangan dharma (kebenaran) atas adharma (kebatilan). Konon, Mayadanawa adalah seorang raja zaman Bali Kuna yang berkeraton di Bedahulu.

Pada masa pemerintahannya, masyarakat Bali digambarkan hidup dalam nestapa lahir batin. Mayadanawa dilukiskan sebagai penguasa yang bengis, angkuh, adigang adigung, durjana angkara murka. Penerus dari Raja Jayapangus ini melarang rakyatnya menggelar ritual keagamaan.

Kuil-kuil pemujaan kepada Tuhan dihancurkan￾nya. Bahkan ia menantang para dewa untuk adu sakti dengan dirinya. Mitologi, sejarah, legenda, bahkan dongeng terasa saling silang menggelayuti kisah Mayadanawa. Keterlibatan Dewa Indra memerangi Mayadanawa menunjukkan ramuan mitosnya.

Disebut-sebutnya Mayadanawa sebagai putra Jayapangus–salah satu raja yang pernah memerintah di Bali (abad ke-12)– mengindikasikannya sebagai tokoh sejarah. Dihubung-hubungkannya Mayadanawa dengan asul-asul tempat seperti Tampak Siring, Manukaya, hingga Sungai Petanu menyiratkan aura legendanya.

Baca juga:  Perempuan dan KDRT

Begitu hebatnya kesaktian Mayadanawa yang dapat berubah wujud menjadi segala yang diinginkannya, bagai tuturan dongeng. Namun terlepas dari sejumlah
interpretasi perspektif historis, filosofis, teologis hingga sosio-politis terhadap bayang-bayang kisah Mayadanawa, untaian fakta empiris menunjuk￾kan keberadaannya yang tidak maya dalam puspa ragam kesenian.

Teater Topeng sebagai seni pertunjukan tua Bali sangat lazim mengangkat lakon Mayadanawa. Dramatari menggunakan tapel yang lakon-lakonnya berorientasi dari sumber cerita semi sejarah, babad, ini menggambarkannya sebagai detya, figur setengah manusia dan setengah raksasa.

Kisah Mayadanawa yang disajikan dalam seni pertunjukan Bali yang umumnya hadir dalam beragam ritual keagamaan Hindu di Pulau Dewata ini adalah sebuah persembahan yang sarat dengan pesan moral, dalam konteks ini, tentang keteguhan beragama Hindu. Bila para penari topeng pintar membawakan dan mengisahkannya, para penonton pun manggut-manggut menyepakatinya. Sebuah konfirmasi yang terkoneksi tenteram.

Struktur dramatik yang dimuat dalam kisah Mayadanawa memberikan ruang dan peluang serta tantangan pengejawantahan seni pentas. Di samping integral dengan teater Topeng, rupanya kisah Mayadanawa juga hidup dalam beragam ungkapan seni pertunjukan Bali lainnya.

Baca juga:  Fokus pada Bahan Pokok di Tengah Turbulensi Perekonomian

Melalui kemasan seni pentas yang disebut drama klasik, kekejaman Mayadanawa dalam menindas rakyatnya, pernah digarap dan dipergelarkan oleh sejumlah seniman di Denpasar tahun 1959. Drama Gong yang kemudian menguak setelah tragedi politik tahun 1965, juga sering menampilkan lakon Mayadanawa yang berefek terapis, membangkitkan semangat masyarakat Bali dari rasa takut yang
sempat mencengkeram.

Di samping ditransformasikan dalam seni pertunjukan, kisah Mayadanawa juga telah disusun dalam seni sastra klasik, misalnya, dalam prosa lirik gaguritan. Tembang kekinian, lagu pop Bali, juga tidak sedikit yang melantunkan kisah Mayadanawa seperti lagu yang bertajuk “Galungan Ring Bali” karya Komang Darmayuda yang dinyayikan oleh Anggis Devaki.

Penggalan liriknya: Ring babad pulina kasengguh, Prabu Mayadanawa madeg ratu ring bedahulu, state ngelaran momo angkara, panjake ten dados nyembah Sanghyang Widhi.

Baca juga:  Kebudayaan Tanpa Kepentingan

Penistaan agama dikisahkan pernah mengoyak Bali di masa lampau. Penistaan itu, seperti yang digambarkan dalam kisah Mayadanawa, bukan sekedar dilakukan oleh segelintir orang, melainkan terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif.

Puji syukur, keyakinan dan keteguhan masyarakat Bali dalam melakoni agamanya, diberkati Hyang Widhi dengan percikan wara nugraha yang maha kasih. Kesenian Bali berkontribusi sebagai wahana renungan, penggugah optimisme, merawat toleransi sasama dan pluralitas berbangsa.

Salah satu kemajemukan, dalam hal beragama, di bumi Bhineka Tunggal Ika ini perlu terus disejukkan dengan menengok kembali derita nestapa seperti dalam kilasan kisah Mayadanawa. Jika dikaitkan dengan teknologi jagat maya sekarang, mayadanawa bisa digatukkan menjadi maya berarti antara ada dan tiada dan danawa adalah setan.

Mungkin, kini adalah era kesempatan “setan” bergentayangan mengimingi godaan menyesatkan, menyeringai mengumbar teror dengan tujuan memecah belah kerukunan umat.

Penulis, Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar

BAGIKAN