Oleh Gusti Ketut Widana
Pengertian agama secara deskriptif sebagaimana diungkap George Galloway, adalah sebagai keyakinan manusia terhadap kekuatan yang melampaui
dirinya, kemana ia mencari pemuas kebutuhan emosional dan mendapat ketergantungan hidup yang diekspresikan dalam bentuk penyembahan, diantaranya lewat ritual keagamaan.
Menurut Susanne Langer, di dalam dimensi ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobjekkan, sekaligus mengungkapkan perilaku dan perasaan umat. Salah satu fungsinya adalah memperkuat keyakinan terhadap adanya dunia yang gaib (niskala) dan memberikan cara-cara pengungkapan wmosi keagamaan secara simbolik.
Akan tetapi, harus diketahui bahwa penggunaan sarana-sarana simbolik yang sama secara terus-menerus menghasilkan suatu dampak yang membuat simbol-simbol tersebut menjadi kegiatan yang biasa dan terbiasa, tak ubahnya sebagai sebuah rutinitas belaka yang bisa jadi kehilangan makna dan pemaknaan.
Galungan yang secara naimitika yadnya (rutin-berkala) dilaksanakan setiap 210 hari sekali pada Buda Kliwon wuku Dungulan, tak dapat dimungkiri terperangkap juga sebagai aktivitas ritualistik simbolik ekpresif yang dari waktu ke waktu tetap berkutat pada kancah
ritual persembahan bebanten. Sementara ranah pemaknaannya sebagai hari kemenangan dharma atas adharma, nyaris belum sepenuhnya dirambah. Setidaknya tak begitu menjadi atensi memotivasi dan menginspirasi diri lalu diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.
Padahal, aktivitas keagamaan sejatinya sebagai refleksi atas cara beragama yang tidak hanya
terbatas pada kepercayaan/keyakinan saja, akan
tetapi semestinya termanifestasikan juga dalam
wujud tindakan, baik secara individual-personal
maupun kolegial-komunal. Ibarat lintasan jalur kereta api, rutinitas ritual Galungan diharapkan mampu mengembalikan posisi roda dharma berada pada relnya (on the track).
Segala tatanan kehidupan dalam keseharian yang bisa saja berkelak-kelok lalu terperosok ke dalam alur adharma bisa kembali pada jalur dharma, terutama menyangkut persoalan mencari artha guna memenuhi kama, sebelum nantinya menggapai obsesi moksa.
Sejatinya, aktivitas keagamaan tidak hanya
berlangsung pada pada saat terjadi relasi dengan
Tuhan, namun juga meliputi interaksi intens
dengan sesama makhluk.
Aktivitas keagamaan merupakan bagian dari dimensi ritual suatu agama, yang tidak semata-mata berhubungan dengan urusan persembahan ritual (sesaji/bebanten), tetapi di dalamnya mengandung amanat untuk bagaimana cara umat (manusia) “menerjemahkan” makna dan “mengejawantahkan” pemaknaan aktivitas ritual simbolik ke dalam tataran behavioristik — perilaku berkehidupan yang lebih
humanistik dan realistik.
Tidak melulu merujuk pada arah dimensi supra empirik (paradogma/doktrin) yang berada “jauh” dari jangkaun pikiran umat yang masih berkutat pada realita empirik dengan segala paradigma disiplin keilmuannya untuk menghadapi dan mengatasi berbagai fenomena, dinamika dan problema keduniawiannya. Jadi, ada korelasi positif yang semestinya dikonstruksi untuk semakin menguatkan relasi antara aktivitas ritual keagamaan sebagai media ibadah, dengan kaidah berperilaku sebagai wujud sembah, guna memohon dan mendapatkan berkah atau anugerah.
Sehingga ritual keagamaan dalam bentuk persembahan ritual, termasuk dalam konteks hari suci Galungan yang akan dilaksanakan pada Buda Kliwon Dungulan (10/11) mendatang, mengamanatkan umat Hindu untuk merealisasikan prinsip “gêlung-guling-galang-gêlang-gêlêng”. Bahwa dengan menjadikan dharma sebagai “gêlung” (mahkota utama) niscaya dapat meng-“guling”-kan adharma, sehingga pikiran dan hati nurani menjadi “galang” (terang), seraya terus menguatkan ikatan “gêlang” Tridatu (keberanian, kesucian, dan perlindungan) hingga menjadikan hidup dan kehidupan semakin “gêlêng” : êntêg/dêgdêg (tenang/mantap), tidak lagi ngrêdêg (emosional), gampang gêdêg (marah), apalagi sampai saling pantêg (berkelahi) dengan sesama (nyama/semeton).
Intinya, hakikat Galungan tidak sekedar
ditampilkan lewat aktivitas ritual yang antara lain ditandai dengan kegiatan “nampah celeng” (memotong babi) plus “ngelawar” (membuat menu hidangan khas Bali), apalagi ditambah acara bazar/ngebar di banjar, lalu menghaturkan sesaji (upakara bebanten), yang kemudian terfragmentasi secara simbolik lewat pemasangan Penjor sebagai simbol kemenangan dharma. Tetapi lebih dalam dari itu, yaitu bagaimana makna dan pemaknaan kemenangan dharma terinternalisasi dan lanjut terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya saat datangnya hari suci Galungan, enam bulan sekali.
Penulis, Dosen UNHI, Alumni Pascasarjana UHN IGB Sugriwa Denpasar.