I Gst. Ngr. Bagus Suryawan, S.T., S.Ag., M.M. (BP/Istimewa)

Oleh I Gst. Ngr. Bagus Suryawan

Bali pulau mungil yang dijuluki Pulau Seribu Pura, Pulau Dewata, Pulau Budaya, dan ada lagi yang menyebut Pulau Penuh Toleransi. Begitu juga Bali terdahulu pernah menonjolkan cirinya yang mengedepankan kekuatan pertanian sebelum pariwisata mendominasi sebagai ciri unggulannya. Bila ciri itu dianggap jati diri, tentu Bali akan terus menerus mengalami reinkarnasi jati diri selaras dengan kekuatan dan cirinya yang mendominasi. Lalu jati diri apa lagi yang akan diperkenalkan Bali pada dunia di tengah kehadiran Covid-19 yang membuat objek-objek wisata hingga tahunan tanpa akses kunjungan (amati lelungan), tiada hiburan (amati lelanguan),  pekerja pariwisata menganggur (amati karya), dapur meredup (amati geni).

Dulu Bali menonjolkan kekuatan pertanian  dengan kekuatan  subaknya yang memiliki hubungan batin yang kental dengan Pura Ulun Sui disarukan oleh pariwisata. Keunggulan  pertanian dibuktikan adanya pengakuan dari Badan PBB, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yang telah  mensahkan budaya Subak sebagai bagian dari warisan dunia (world heritage) pada Sidang ke-36 di St.Petersburg, Rusia, pada tanggal 29 Juni 2012. Walaupun demikian, seperti arah angin yang arahnya mengalir begitu saja, siapa yang menyangka tatanan pertanian yang dulunya begitu kuat di tanah Bali menjadi labil oleh pengaruh  kekuatan pariwisata.

Baca juga:  Potensi Ekonomi Berbasis Kearifan Lokal

Aliran dolar lebih terasa dibandingkan irigasi  Subak yang mengalirkan airnya ke petak-petak sawah para petani. Yang kekal itu perubahan, dan perubahan itu tidak bisa dibendung manakala Tuhan yang menghendaki, begitulah ungkapan yang sering kita dengar. Siapa yang menyangka generasi penerus keluarga di Bali terkesan kurang tertarik dengan mengolah pertanian, sawah, tegalan dan bahkan  teba pun harus beralih fungsi. Pura Ulun Sui pun tidak berdaya dipertahankan manakala sawah telah berubah menjadi perumahan. Begitu juga ketika masyarakat sedang menikmati kesejahteraan pariwisata, siapa yang menyangka  ada rombongan  tamu Covid-19 datang mengusik kenikmatan pariwisata hingga tanpa daya.

Bagaikan pohon yang masa berbunganya akan berakhir, begitu juga Covid-19 ada pertanda melandai, tentu ada harapan baru untuk berbenah menyambut kehadiran para pelancong (tourist) mancanegara dan kembali merintis pariwisata sebagai unggulan yang sudah pernah dirasakan mensejahterakan. Daya dukung  pemerintah Pusat dan pemerintah Provinsi Bali  yang telah membuka akses pariwisata menuju Bali pada tanggal 14 Oktober 2021 merupakan harapan yang dirindukan.

Baca juga:  Harmonisasi Pertanian, Budaya, dan Pariwisata

Namun demikian, perlu kekuatan baru untuk tetap mengindahkan kesehatan, dan bagaimanapun juga Covid-19 telah mengajarkan pada dunia termasuk Bali tradisi sehat dengan menggunakan masker, rajin mencuci tangan, dan menjaga jarak. Kita menjadi sehat kalau tubuh punya kekuatan, itulah sebabnya tubuh kita divaksin agar punya kekuatan, kekebalan tubuh, berupa imun.

Bila Bali merindukan pariwisata sebagai unggulannya kembali, tentu harus diupayakan memiliki kekuatan sehingga tidak labil. Swami Viveka Nanda, cendikiawan Hindu yang lahir di abad -19 mengatakan, kekuatan adalah kehidupan, dan kelemahan adalah kematian. Begitu juga dalam Vedanta, sebab musabab segala penderitaan adalah kelemahan. Orang berdusta, mencuri, korupsi, membunuh, dan ragam kejahatan lainnya terjadi karena lemah mental dan keyakinannya.

Pandemi Covid -19 dirasakan mengganggu dalam diri manusia karena manusia dalam kondisi lemah. Covid sendiri dalam Hindu termasuk Adhibhautika Rudra, dimana Adhibhautika  dimaksudkan makhluk hidup yang berasal dari luar diri manusia, dan  Rudra diartikan yang selalu menghasilkan ketakutan. Siwa sendiri dipanggil Rudra karena asfeknya sebagai pelebur atau penghancur. Betapapun hebatnya kejahatan itu akan ketakutan melihat Siwa dalam wujud Rudra.

Dalam Hindu ada 11 Rudra (Ekadasa Rudra ), tiga yang mendominasi yaitu :  Adhyatmika, Adhidaivika, dan Adhibhautika. Ketiga Rudra ini tidak bisa dihindari dan harus dihadapi dan diatasi dengan cara – cara yang tepat dan benar sehingga tabah menghadapinya. Unsur tabah ini adalah unsur kekuatan disamping juga  dapat menumbuhkan kekebalan tubuh (imun). Agar bisa tabah, Kitab Veda mengajarkan cara beryoga, cara berhubungan dengan Tuhan.

Baca juga:  LPD, Pemberdayaan Ekonomi Kaum Marginal

Di samping yoga, dianjurkan juga melakukan  meditasi untuk melatih meningkatkan kesadaran diri dari kesadaran fisik yang bersifat sementara menuju kesadaran Atma yang abadi. Meditasi juga diharapkan bisa melatih keseimbangan (Samadhi), tabah dengan keadaan, dan  ini adalah sumber kekuatan. Yang tidak kalah penting, meditasi diharapkan dapat menumbuhkan kasih sayang (divine love) dengan cara mengikis sifat binatang pada diri seperti kebencian,tamak, marah tidak mendidik, nafsu, iri, curiga, dan tidak menyakiti makhluk apapun yang pada akhirnya menjadi kekuatan yang indah dalam membangun karakter diri. Hanya dengan kekuatan demikian kita bisa menerima perbedaan yang pada akhirnya kita dapat menemukan adanya kesatuan jati diri sebagai Atmaswarupa yang abadi dalam keanekaragaman wajah (unity in diversity).

Penulis, Pensiunan Telkom

BAGIKAN