Prof. Wayan Windia (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kebijakan Gubernur Bali, Wayan Koster melalui Surat Edaran (SE) Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pemanfaatan Produk Garam Tradisional Lokal Bali benar-benar menunjukkan keberpihakannya kepada petani Garam, sekaligus terhadap kebangkitan ekonomi kerakyatan. Pasalnya, kebijakan ini bertujuan untuk melindungi, melestarikan, memberdayakan, dan memanfaatkan Produk Garam Tradisional Lokal Bali sebagai salah satu basis pengembangan perekonomian Bali untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebahagian Krama Bali secara sekala dan niskala. Selain mendapat apresiasi dari para petani garam, kebijakan ini juga diapresiasi oleh kalangan akademisi maupun praktisi.

Guru Besar Pertanian Universitas Udayana (Unud), Prof. Wayan Windia, mengatakan bahwa kebijakan tentang Pemanfaatan Produk Garam Tradisional Lokal Bali yang dikeluarkan Gubernur Koster sangat baik, karena memihak kepada orang-orang miskin. Sebab, lokasi orang-orang miskin pada umumnya memang berada di tepi pantai dan di pinggir hutan (Nyegara-Gunung). Sehingga, kemiskinan di segara-gunung harus dihabiskan. “Kalau pemerintah memang ingin mengurangi kemiskinan, maka lokasinya ada di kawasan-kawasan tersebut (tepi pantai dan pinggir hutan,red). Komunitasnya adalah komunitas petani. Termasuk petani garam,” ujar Prof. Windia, Rabu (17/11).

Saya juga meng-apresiasi Bank BPD yang segera turun tangan untuk berpartisipasi, setelah Gubernur Koster dan Wagub Cok Ace turun tangan di Kusamba. Saya kira “bisikan” Gubernur wajib dilaksanakan oleh Bank BPD. Karena pemegang saham Bank BPD Bali adalah Pemda Bali.

Baca juga:  Survei BI : Dunia Usaha Bali di Triwulan II Membaik

Untuk membantu petani garam di Bali, kata Prof. Windia, yang diperlukan adalah mencarikan pasar bagi produksi garam tersebut. Kemudian mempopulerkannya, dengan branding Garam Bali masing-masing wilayah produksi.

Apalagi, garam yang ada di Bali, terutama garam di Kusamba sudah sangat terkenal, bahkan sudah lama diminati oleh para wisatawan Jepang. Banyak wisatawan Jepang yang membeli Garam Bali Kusamba untuk digunakan sebagai oleh-oleh dari Bali.

“Karena brandingnya sudah ada, dan potensinya sudah ada, maka kini pemerintah tinggal menggenjot kegiatan di hilir. Dengan demikian produksi Garam Bali akan semakin menggeliat. Saya kira Pemda Bali sudah memiliki Pergub Nomor 99 tahun 2018, untuk menggenjot kegiatan di hilir. Berdasarkan Pergub tersebur, Pemda seharusnya bisa berkiprah dengan tegas agar produksi Garam Bali meningkat, sehingga kesejahteraan petani garam juga meningkat,” tandasnya.

Ketua Stispol Wira Bhakti ini, menegaskan apabila potensi di hilir sudah kuat, maka Pemda Bali tinggal memanfaatkan teknologi yang sepadan untuk meningkatkan produksi Garam lokal tradisional Bali. Sehingga, beban petani untuk negen (menggendong) air laut hingga ke daratan bisa dipermudah dengan bantuan teknologi tersebut,

Baca juga:  Kota-kota di Indonesia Tak Punya Bentuk Jelas

Selain itu, pembinaan melalui pembentukan koperasi atau kelompok petani garam juga mesti dilakukan. Sebab, dengan adanya kelompok tersebut, maka proses pembinaan bisa dilaksanakan dengan maksimal. Bila sudah ada koperasi atau kelompok petani garam, maka kelompok itu terus bisa dibina dan diberdayakan untuk kesejahteraan petani garam ke depannya.

Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Warmadewa (FEB Unwar), Dr. I Made Sara, SE.,MP., juga mengapresiasi kebijakan Gubernur Koster yang telah melindungi, melestarikan, memberdayakan, dan memanfaatkan Produk Garam Tradisional Lokal Bali sebagai salah satu basis pengembangan perekonomian Bali untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebahagian krama. Menurutnya, kebijakan ini sangat tepat untuk mendorong petani garam agar berproduksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, bahkan untuk memenuhi kebutuhan ekspor.

Kendati demikian, Pemerintah tidak cukup hanya mendorong petani garam untuk berproduksi, namun yang terpenting juga memberikan pembinaan dan pendampingan. Karena tanpa pembinaan dan pendampingan petani garam tidak tertarik untuk membuat garam. Apalagi jika ada tempat untuk berusaha yang lain selain membuat garam. Mereka akan beralih ke tempat usaha tersebut.

Baca juga:  Ribuan Warga Ikuti “Creative Fun Walk” PDIP Denpasar

“Karena sementara ini tanpa pembinaan dan pendampingan tentu petani garam tidak tertarik untuk membuat garam jika ada tempat untuk berusaha yang lain selain membuat garam. Karena keterbatasan pengetahuan tentang teknologi modern yang lebih efisien dan efektif, serta informasi pasar garam dari petani garam sangatlah minim. Bahkan usaha penggaraman yang mereka lakukan adalah pekerjaan sambilan,” ujar Made Sara.

Dikatakan, bahwa garam lokal tradisional Bali sudah ada dari sejak dulu terutama di Bali Selatan. Yaitu Suwung Batan Kendal dan Suwung Kauh yang diproduksi petani dengan proses memasak dengan tungku.

Juga di beberapa daerah di Amed, Karangasem, Kusamba, Klungkung, Tejakula, Buleleng yang berkembang dengan menggunakan panas matahari dengan menjemur. Apabila sistem pembuatannya disinergikan dengan pengetahuan teknologi modern yang lebih efektif dan efisien, maka petani garam akan lebih bergairah untuk memproduksi garam. “Itulah menurut saya, perhatian pemerintah terhadap petani garam sangat tepat untuk menjadikan para petani garam lokal lebih semangat, bergairah dan sekaligus merasa sejahtera menjadi petani garam,” pungkasnya. (Winatha/balipost)

BAGIKAN