DENPASAR, BALIPOST.com – Permasalahan sampah menjadi momok tersendiri bagi Bali yang notabene sebagai destinasi pariwisata dunia. Setiap tahun, kebocoran sampah selalu menyelimuti Pulau Dewata, terutama di sepanjang pantai Selatan Bali.
Bahkan, dalam waktu 30 sampai dengan 40 hari ke depan akan terjadi pendaratan sampah laut di pantai selatan Bali. Biasanya berlangsung hingga bulan Maret ke depan.
Akademisi Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP) Universitas Udayana (Unud), Dr. Gede Hendrawan, mengatakan bahwa sejak seminggu lalu sudah mulai mucul sampah di pantai Candi Kuning, Jembrana, sehingga persiapan kedaruratan sampah yang diperkirakan akan muncul dengan volume yang lebih banyak, seperti penyiapan dum truk, tenaga dan alat berat perlu dilakukan sejak dini. Apalagi, berdasarkan kajian ilmiah setiap bulan November hingga Maret, pantai selatan Bali, terutama Pantai Kuta langganan sampah kiriman.
Sebab, Pantai Kuta merupakan daerah konvergensi sampah, karena sistem arus laut yang ada di Selat Bali berakhir di Pantai Kuta. “Ini adalah konsekuensi logis dari posisi Pantai Kuta, karena hampir semua sampah yang ada di laut Selat Bali, dia menyusur pantai-pantai barat Bali yang kemudian berakhir di Pantai Kuta, dan mekanisme ini sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu,” ujar Gede Hendrawan dalam Focus Group Discussion (FGD) Kebijakan Penanganan Sampah di Sepanjang Pantai Selatan Bali yang dipimpin Pejabat Fungsional Ahli Perencanaan Utama Bappeda Provinsi Bali, Putu Astawa di ruang Cempaka Bappeda Provinsi Bali, Kamis (18/11).
Berdasarkan kajian dan model yang dikembangkan, dikatakan bahwa sampah yang ada di selat Bali potensi besar berasal dari Samudera Hindia, Selatan Jawa, dan pesisir Sumatera. Bahkan, dikatakan bahwa saat ini hektaran sampah posisinya sudah berada di pesisir alas Purwo, Jawa Timur.
Berdasarkan mekanisme arus, sampah-sampah tersebut diperkirakan akan sampai di Pantai Selatan Bali, terutama di Pantai Kura dalam kurun waktu 30 hingga 40 hari ke depan. “Maka saya sampaikan, siap-siap Bali menyambut sampah-sampah ini yang dengan kasat mata jumlahnya beberapa hektare,” tandasnya.
Untuk mengantisipasi lonjakan sampah kiriman tersebut, diperlukan mitigasi awal untuk penyampaian informasi tentang ramalan kedatangan sampah musiman tersebut, dan menjalin komunikasi yang intens dengan masyarakat. Dan yang terpenting perlu disusun rencana aksi penanganan sampah musiman tersebut secara lebih konkrit.
Pejabat Fungsional Ahli Perencanaan Utama Bappeda Provinsi Bali, Putu Astawa, mengatakan berdasarkan kajian ilmiah sampah musiman merupakan konsekuensi mekanisme arus selat Bali. Sumber sampah yang bocor ke laut bersumber dari daratan Bali maupun luar Bali sepanjang pantai Jawa dan Sumatera.
Bocornya sampah ke laut banyak terjadi di aliran sungai di daerah Jembrana dan Tabanan, sehingga diperlukan pemasangan trash trap sampah di sungai-sungai hingga menangkap sampah di tengah laut dengan menggunakan kapal laut.
Tidak hanya itu, mantan Kadispar Provinsi Bali ini mengatakan bahwa permasalahan sampah tidak bisa diselesaikan sendiri. Akan tetapi diperlukan sinergi dengan daerah lain di luar Bali.
Mengingat, sampah yang terdampar di Bali juga berasal dari daerah lain. Diperlukan juga solusi jangka pendek untuk menanggani permasalahn sampah. Seperti memasang trash trap dan juga river clean up, yakni membersihkan sungai, hingga membersihkan selokan dari sampah.
Karena sampah yang ada diselokan akan terbawa ke sungai. “Untuk mengurangi volume sampah ke laut, Bapak Gubernur Bali telah mengeluarkan kebijakan melalui Pergub Nomor 97 Tahun 2018 dan Pergub Nomor 47 Tahun 2021 yang implementasinya terus digencarkan,” pungkasnya. (Winatha/balipost)