Krama "munjung" saat Kuningan. (BP/Istimewa)

BANGLI, BALIPOST.com – Krama di Desa Adat Sala, Kecamatan Susut, Bangli masih melestarikan tradisi ngejot punjung. Tradisi ini biasanya dilaksanakan saat hari raya Galungan. Selain sebagai ungkapan rasa syukur, tradisi yang sudah dijalankan turun temurun itu bertujuan untuk merekatkan tali silaturahmi antarkrama.

Ngejot punjung dilakukan krama dengan membawakan banten punjung ke rumah krama yang baru melangsungkan perkawinan dan yang baru memiliki anak pertama di wewidangan Desa Adat Sala. Banten punjung biasanya berisi satu ikat sate Galungan, dua buah tumpeng dan raka-raka banten. Oleh krama yang menerima, punjung ditempatkan di bale dangin dan kemudian di-tatab. Menurut Bendesa Adat Sala, I Wayan Subagia, tradisi ini sudah berjalan sejak lama.

Baca juga:  Desa Adat Manggissari Jaga Potensi Perkebunan di Perbukitan Pekutatan

Meski tidak diatur/diwajibkan, namun krama di desa adatnya masih menjalankan tradisi ini sampai sekarang. “Tradisi ini menjadi ajang silaturahmi sekaligus mengucapkan selamat dan syukur kepada pasangan yang baru menikah dan yang baru punya anak pertama,” ujarnya.

Diakui Subagia, saat ini zaman sudah serba praktis. Punjung bisa saja diganti dengan uang. Meski demikian pihaknya dan kramanya tetap mengupayakan mempertahankan tradisi ngejot punjung agar tetap lestari.

Baca juga:  Pelanggan di Suter Dapat Air Seminggu Sekali

Selain ngejot punjung ke pasangan yang baru menikah dan pasangan yang punya anak pertama, di Desa Adat Sala juga ada tradisi mamunjung ke setra. Ini biasanya dilakukan krama yang anggota keluarganya masih dikubur di setra. Adapun sarana mamunjung yang dibawa ke setra berupa pejati, banten durmanggala, Darpana alit/ punjung, segehan, bungkak, toya anyar, tirta, pakebah dan tikeh. “Tradisi munjung ke setra biasanya dilakukan saat hari raya Kuningan,” kata mantan Kelian Banjar Dinas Sala itu.

Baca juga:  Gubernur Koster Tutup Pameran IKM Bali Bangkit Tahap 4

Hal yang sama juga diungkapkan Ketua Sabha Desa Adat Sala, I Ketut Kayana. Dia mengatakan adanya tradisi munjung ke setra menyebabkan setra selalu ramai saat hari raya Kuningan. Sesuai kepercayaan krama, pada hari raya Kuningan para Dewa dan leluhur turun ke jagat raya. Sehingga di momen itulah dipakai kesempatan oleh krama mamunjung ke keluarga yang jasadnya masih ada di setra. Termasuk yang makingsan di geni. “Tujuannya sama, untuk mendoakan,” kata Kayana. (Dayu Swasrina/balipost)

BAGIKAN