Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Satrya

Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Mandalika mulai menyambut wisatawan mancanegara dari even dunia yang telah lama disiapkan, yakni World Superbike. Tahun depan, Mandalika akan menjadi venue MotoGP. Dua even dunia ini menegaskan Lombok memposisikan diri sebagai destinasi wisata internasional yang sanggup menjadi tuan rumah even bergengsi dengan standar internasional.

Harapan besar menyertai kemajuan pariwisata Lombok yang sepadan dengan kemajuan kualitas lingkungan dan kualitas sumber daya masyarakat lokal. Jangan sampai kemajuan infrastruktur pendukung kepariwisataan dan even bergengsi di Lombok tidak memberi nilai tambah pada alam dan manusia (warga) Lombok khususnya dan NTB umumnya.

Gagasan dan pelaksanaan kerjasama bekas wilayah Sunda Kecil (Bali, NTB dan NTT) yang dimulai pada Januari 2009, perlu kita apresiasi dan dukung bersama. Kerja sama antara tiga provinsi di wilayah Sunda Kecil itu meliputi bidang pariwisata, perdagangan, pertanian dan peternakan, kesehatan, kerukunan hidup beragama serta memperjuangkan kepentingan yang berkaitan dengan isu regionalisasi yang selama ini hanya terfokus pada Jawa dan Bali.

Wilayah Bali, NTB dan NTT sebelumnya tergabung dalam Provinsi Sunda Kecil berdasarkan PP No.21/1950 (Lembaran Negara Tahun 1950 No.59) yang kemudian berubah namanya menjadi Nusa Tenggara berdasarkan UU Darurat No.99/1954 yang kemudian ditetapkan dengan UU tanggal 6 Februari 1958. Berdasarkan UU No.64/1958, Provinsi Nusa Tenggara dibagi dalam tiga daerah Swatantra Tingkat I, yakni Daerah Swatantra Tingkat I Bali, Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Barat dan Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Timur.

Baca juga:  Sikap Politik Bung Karno atas Israel dan Palestina

Gugusan kepulauan, mulai dari Bali hingga Flores, pada tahun 1950 masuk dalam wilayah Sunda Kecil, satu dari 10 provinsi di Indonesia. Empat tahun kemudian, provinsi tersebut berganti nama menjadi Nusa Tenggara (Nusra). Pemekaran Nusra menjadi tiga provinsi berlangsung pada Desember 1958.  NTB memiliki destinasi wisata internasional seperti Gunung Rinjani dan Tambora. Desa wisata Sade juga memiliki potensi besar untuk menarik kunjungan wisatawan. Pemprov NTB sendiri telah menetapkan 15 kawasan pariwisata, yaitu sembilan di Pulau Lombok dan enam di Pulau Sumbawa.

Sementara itu, NTT memiliki keunggulan destinasi wisata Pulau Komodo, danau tiga warnah Kelimutu di Ende, taman laut di sekitar Labuan Bajo di Manggarai Barat, Riung di Ngada, Teluk Maumere di Sikka dan Pulau Kepa di Alor. Di Sumba ada pesona megalitik, tenun ikat dan pasola atau perang tanding sambil mengendarai kuda dan Timor dengan banyak obyek petualangan.  NTT sendiri ditetapkan sebagai gerbang Asia-Pasifik berbasis pariwisata, seni, dan budaya yang spesifik. Karena itu, tak salah jika gugusan kepulauan Sunda Kecil ini menjadi kekuatan baru bagi pariwisata RI yang jika disatukan akan lebih memperkuat satu dengan yang lain. Adalah tantangan setiap pihat terkait kepariwisataan untuk mendongkrak perjalanan wisatawan domestik (khususnya dari Jawa) ke tempat-tempat wisata di luar Jawa dan Bali, dalam hal ini ke Lombok dan NTB.

Baca juga:  Sesuai Pesanan, Komplotan Curanmor Asal NTB Beraksi di Kuta

Dalam konteks ini, desa wisata di Lombok patut mendapat perhatian. Mengapa desa wisata harus dikembangkan? Pertama, indikator terpenting kemajuan sektor pariwisata selain pemasukan negara melalui devisa negara adalah peningkatan taraf kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat khususnya di area pinggiran dan di sekitar obyek dan daya tarik wisata (ODTW). Sebagian besar ODTW berada di area pedesaan. Karena itu, amat ironis manakala target kunjungan wisatawan asing dan pendapat devisa negara serta pembelanjaan wisatawan domestik bertumbuh hanya pada area tertentu.

Kedua, seiring dengan perubahan tren wisatawan dunia, bahwa kepariwisataan semakin menuju kepada quality tourism, di mana adat-istiadat lokal dan lingkungan hidup harus dihargai. Sebagai antitesa dari praktek wisata yang berorientasi pada jumlah kunjungan, pertumbuhan kualitas dan kuantitas desa-desa wisata merupakan keniscayaan. Ada 5 aspek yang dipergunakan sebagai parameter menilai potensi pengembangan desa wisata yaitu originalitas, otentisitas, keunikan, kelangkaan dan keutuhan. Di mana, warga beserta seluruh aspek kehidupan desa yang melekat di dalamnya, berdaulat dan dihormati oleh wisatawan.

Baca juga:  Wajah Pariwisata Bali

Ketiga, di pedesaanlah sebenarnya kepariwisataan kita memiliki daya saing dan otentisitas produk yang tidak dimiliki oleh destinasi wisata di negara lain. Konsep wealth created tourism berjalan nyata dengan mencerminkan diri sebagai bangsa yang tidak terlena dengan warisan / inherited wealth tourism (bangunan bersejarah, tari-tarian, kesenian, candi, dan sebagainya), tetapi mengeksplorasi desa-desa wisata baru yang inovatif, berdaya saing dan laik jual.

Wealth created tourism melalui penghormatan bumi dengan mengembangkan desa wisata sebenarnya tidak sesulit dan semahal menciptakan destinasi wisata baru. Pola hidup sehari-hari masyarakat pedesaan sudah menjadi daya tarik tersendiri, tinggal bagaimana mengemas dan memasarkannya. Di sinilah harapan dan tujuan ideal akan kemajuan pariwisata di Lombok khususnya dan Sunda Kecil umumnya.

Penulis, Dosen Hotel & Tourism Business, School of Tourism, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN