TABANAN, BALIPOST.com – Lahan pertanian di Bali disinyalir sudah dalam kondisi sakit atau kurang sehat. Ini dikarenakan penggunaan bahan kimia seperti pupuk dan pestisida dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya baik bagi manusia maupun lingkungan.
Dosis pupuk kimia yang terus meningkat disinyalir menyebabkan kondisi tanah mengalami penurunan kualitas kesuburan. Untuk itu, di masa pandemi kali ini sangatlah tepat dijadikan momentum bangkitnya kembali Darma Pemaculan, mengembalikan bumi pertiwi serta melestarikan alam Bali. Salah satunya dengan mengarah sistem pertanian organik.
Sejumlah petani di Kabupaten Tabanan pun memberikan dukungan terkait apa yang sudah menjadi program Pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Daerah kabupaten Tabanan. Seperti petani di Kecamatan Marga, disela kegiatan pelatihan dan sosialisasi pertanian organik yang diinisiasi Yayasan Darma Naradha, Selasa (30/11) di kantor BPP Marga.
Seperti diketahui, Provinsi Bali dan Pemerintah Kabupaten Tabanan saat ini memberikan perhatian utama pada pertanian lantaran sektor ini dianggap mampu bisa bertahan di masa pandemi. Satu hal yang dikembangkan adalah bagaimana menghasilkan produk berkualitas dan sehat untuk dikonsumsi dengan sistem pertanian organik. Bahkan bagi Kabupaten Tabanan, khususnya sebagian petani di Kecamatan Marga, pertanian organik bukanlah hal baru. Seperti disampaikan Camat Marga Drs. I Gusti Agung Alit Adiatmika, ada dua subak di Kecamatan Marga dimana salah satunya sudah memiliki sertifikat organik dan sisanya masih berproses.
“Kedepan harapan kami untuk subak yang sudah organik ini bisa dimediasi oleh bapak Gubernur, berkaitan dengan Pergub pemakaian produk lokal dengan harapan produksinya bisa dijual dengan harga yang tidak sampai merugikan para petani. Ini juga untuk menambah semangat para petani mau menekuni pertanian organik kedepannya yang tentunya produk yang dihasilkan lebih sehat,” jelasnya.
Marga sendiri dalam upaya mendukung Pemerintah dalam menjaga ketahanan pangan Bali, sudah membentengi wilayahnya agar tidak dikepung oleh pengembang. “Astungkara di Marga tidak ada yang sampai mengurus izin pengembang, dan selaku orang Bali paling tidak bisa tetap menjaga eksistensi kita agar tidak tergusur oleh budaya lain,” ucapnya.
Terkait persoalan petani, diakui Alit Adiatmika kecenderungan generasi muda banyak yang tidak mau jadi petani. Awalnya mereka lebih tergiur bekerja dibidang pariwisata seperti hotel dan kapal pesiar yang ternyata sangat rapuh. “Sekarang pandemi sudah terasa dampaknya, semua pulang kampung dan kembali menggarap pertanian bagi yang punya lahan, yang tidak punya lahan jangan pantang menyerah untuk bisa terus mencari peluang ekonomi yang ada. Contoh saja, sekarang bukan hanya toko modern saja yang berjaringan, dagang ayam berjaringan sudah mulai menjamur termasuk pedagang lokal, mengapa peluang ini tidak kita ambil, jangan sampai orang asli Bali habis dan lahan dikuasai oleh orang luar,” sarannya.
Sementara itu Kepala Dinas Pertanian Tabanan, I Nyoman Budana mengatakan, Tabanan sendiri sudah mengarah ke pertanian organik sudah sejak tahun 2014. Bahkan sejumlah subak juga sudah mengantongi sertifikat organik. Kini arah pembinaan lebih pada mutu kualitas. Artinya dengan kualitas yang bagus nantinya diharapkan bisa meningkatkan hasil yang didapat oleh petani. “Tabanan saat ini masih surplus khusus untuk beras artinya jumlah produksi dengan kebutuhan masih ada sisa, artinya bukan berarti baru bangun, tetapi pertanian memang masih sangat eksis di Tabanan, dan masih bisa memepertahankan julukan lumbung beras/pangan Bali. Terkait dengan produksi dari segi kualitas yang masih perlu ditingkatkan,” ucapnya.
Untuk pertanian di kabupaten Tabanan sendiri, komoditi beras berada di kecamatan Penebel, Selemadeg dan Kediri. Sedangkan untuk hortikultura ada di kecamatan Marga, Baturiti dan Penebel, dengan rata-rata kepemilikan lahan di tabanan seluas 25 are. Budana menekankan untuk tetap menjaga eksistensi hasil pertanian, maka pola tanam yang yang harus diterapkan. Termasuk untuk bisa menghasilkan produk yang sehat memang harus mengarah ke sistem organik.
Selain pengenalan pertanian biodinamik, dalam pelatihan ini para petani juga diminta untuk mengembangkan tanaman kelor. Tanaman yang kaya manfaat ini diyakini memiliki potensi yang cukup bagus kedepannya, seiring permintaan untuk bahan dasar pengobatan maupun kosmetik menggunakan kelor. (Puspawati/balipost)