Oleh I Gusti Ketut Widana
Mengacu tiga wujud kebudayaan Koentjaraningrat (1985), kearifan lokal Bali melahirkan: 1) gagasan/konsep/ide, 2) nilai dan perilaku, dan 3) artefak (benda) sebagai representasi kekhasan kehidupan masyarakat berbasis kebudayaan yang dijiwai ajaran Hindu. Diantaranya, menyangkut gagasan yang berkaitan dengan penilaian terhadap perilaku seseorang melalui cetusan istilah “merta matemahan wisya”.
Kata “merta” sebenarnya berarti ‘mati’ (asal kata ‘mrt’, mertya/mercapada = dunia tempat kematian/fana). Aslinya berasal dari kata ‘amerta’, namun latah diucapkan ‘merta’ saja yang diartikan ‘hidup/kehidupan’, bisa juga ‘rejeki’, sedangkan kata “wisya” berarti ‘racun/bisa’. Tak heran dan ini sudah lumrah, ketika hendak memohon sesuatu pada-Nya disampaikan dengan ucapan “tityang nunas merta”, yang secara leksikal berarti “saya mohon kematian”, namun secara gramatikal dimaknai sebagai permohonan agar dalam kehidupannya sejahtera dan bahagia dengan dilancarkan rezekinya.
Jika ditelisik, istilah merta matemahan wisya sebenarnya bermakna ganda, bisa denotatif mengandung arti yang sebenarnya yaitu “hidup menjadi racun” atau kehidupan yang diharapkan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan justru mendatangkan kehancuran atau penderitaan. Sementara itu dalam makna konotatif, istilah merta matemahan wisya dicetuskan untuk menggambarkan perilaku seseorang yang tidak tahu terima kasih, atau tidak bisa membalas budi baik orang lain yang telah memberikan kehidupan, seperti bantuan (materi), pelayanan, pendidikan, pekerjaan, kedudukan, bahkan mengangkat harkat, derajat dan martabatnya. Namun semua kebaikan itu seakan tidak berarti lantaran dengan tega membalasnya dengan kejahatan (pengkhianatan, penipuan), bahkan hingga berujung kematian.
Perilaku merta matemahan wisya semacam ini mirip dengan peribahasa “air susu dibalas air tuba”. Serupa juga dengan peribahasa “dikasih hati minta jantung” yang ditujukan untuk orang yang tidak tahu berterima kasih, sudah diberi atau ditolong malah meminta lebih dari itu, hingga taruhan nyawa. Beberapa contoh perilaku merta matemahan wisya ini dapat ditunjukkan, semisal dalam bentuk korupsi yang dilakukan oknum pejabat pemerintahan. Sudah diberi kedudukan terhormat dengan segala haknya, justru menggerogoti lagi uang negara yang sejatinya uang rakyat. Ini adalah bentuk “racun” pengkhinatan atau pengingkaran terhadap sumpah jabatan yang diucapkan atas nama Tuhan di bawah naungan kitab suci agamanya.
Lebih berbahaya lagi jika pengkhianatan itu berkaitan dengan ideologi negara Pancasila, sebagaimana tersiar kabar dilakukan oleh oknum pada lembaga tertinggi organisasi keagamaan pusat yang telah disusupi tokoh pendukung/pengikut gerakan terorisme. Kedudukan mulia dengan berbagai fasilitas yang diberikan negara telah disalahgunakan untuk kepentingan perjuangan ideologi radikalisme yang sangat bertentangan bahkan mengancam paham kebinekaan dalam frame persatuan dan kesatuan bangsa.
Contoh lain dalam perusahaan, tak jarang terdapat juga perilaku merta matemahan wisya, yang dilakukan orang kepercayaan, karyawan/pegawai hingga partner bisnisnya. Intinya, “merta” (baca : kesejahteraan hidup) yang telah diberikan perusahaan dalam segala bentuknya (gaji, fasilitas, bonus, keuntungan, dll) seakan berubah menjadi “wisya” yang meracuni pemilik hingga tak jarang menyebabkan perusahaan kolaps atau pailit alias bangkrut.
Belum lagi pada ranah kehidupan sosial yang mempertautkan hubungan antar orang/teman/sahabat bahkan saudara. Di Bali, daerah dimana tempat lahirnya wujud kebudayaan dalam bentuk perilaku “merta matemahan wisya” ini seperti sudah tidak asing didengar atau bahkan boleh jadi dialami kasusnya. Katakanlah konsep “suka-duka” yang mengajarkan agar satu sama lain saling berbagi dalam suka dan duka, acapkali terpeleset menjadi “suka membuat duka”, atau “duka melihat (orang lain) bersukacita”. Efek lanjutannya, keberadaan konsep luhur bahwa apapun itu, baik ataupun buruk semuanya adalah milik bersama, maka sepatutnya “druwenang sareng”.
Kenyataannya tak jarang menjelma menjadi “druwene serang”, menyerang dengan segala bentuk dan cara untuk tujuan menyakiti bahkan menghancurkan apapun yang menjadi bagian dari kehidupan teman atau saudara sekalipun. Akibatnya, petuah leluhur agar selalu hidup sebagai “nyama braya” (saudara/kerabat) berubah juga menjadi “nyama brenye” – hubungan persaudaraan/kekerabatan selalu kisruh, rusuh, jadi musuh, apalagi dibumbui kata pisuh, membuat relasi personal-sosial semakin rapuh, lanjut runtuh — hancur berantakan.
Penulis, Dosen UNHI, Alumni Pascasarjana UHN IGB Sugriwa Denpasar