Penyemprotan disinfektan untuk memutus penyebaran COVID-19 dilakukan di wilayah Desa Adat Tista. (BP/Istimewa)

SINGARAJA, BALIPOST.com – Penyebaran pandemi Virus Corona (COVID-19) membuat Prajuru Desa Adat berkerja keras mengendalikan penyebaran virus berbahaya ini. Apalagi, Gubernur dan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali menginstruksikan pengendalian COVID-19 berbasis desa adat.

Salah satu Desa Adat di Buleleng yang menindaklanjti kebijakan itu adalah Desa Adat Tista, Kecamatan Busungbiu. Awal Februari 2021, desa adat ini mengesahkan awig-awig untuk memutus penyebaran COVID-19 di wewidangan desa adat setempat. Ada beberapa poin kesepakatan diantaranya mengatur pelaksanaan upacara agama, adat, dan penduduk pendatang dari luar desa adat.

Bendesa Adat Tista, Kecamatan Busungbiu Jro I Nyoman Astawa belum lama ini mengatakan, mengacu edaran bersama Gubernur, MDA Bali, dan Bupati Buleleng, pihkaya bersama tokoh masyarakat, pengelingsir di desa adat, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), LPM, dan perwakilan pengurus dadia menyepakati untuk mengesahkan peraram awig-awig tersebut. Perarem ini berlaku sampai pemerintah memutuskan penyebaran COVID-19 berakhir.

Baca juga:  Yasa Kerti Karya Nubung Daging, Desa Selat Gelar Nyepi Adat

Jika sudah sampai pada situasi aman, maka perarem ini akan dicabut. Dari kesepakatan itu, desa adat mengeluarkan keputusan terkait pelaksanaan upacara agama mulai di Khayangan Tiga sampai di setiap sanggah merajan dilaksanakan dalam tingkatan alit. Persembahyangan juga diatur dengan bergelombang untuk mengurangi kerumunan.

Sedangkan, untuk pelaksanaan upacara adat seperti Pitra Yadnya dan Manusia Yadnya, desa adat tidak mengizinkan digelar dengan memobilisasi warga dalam jumlah besar. Dia mencontohkan, untuk prosesi perkawinan, jika ada warga desa adat dari pihak laki-laki, maka prosesi upacaranya dilakukan sederhana.

Bahkan, dalam perarem ini disepakati prosesi dilakukan oleh kedua orangtua pihak laki-laki, para saksi, pemangku, dan perwakilan keluarga laki-laki hanya 5 orang saja. Bahkan, untuk sementara di masa pandemi ini, acara resepsi pernikahan di desa adat tidak diizinkan.

Baca juga:  Desa Adat Munduk Kunci Bangun Infrastruktur

Kalau pihak yang melaksanakan upacara tetap menggelar resepsi disarankan untuk melaksanakan di luar wewidangan desa adat. Demikian juga, persiapan upacara pernikahan yang bisa melaksanakan tradisi mebat yang mengundang banyak orang untuk saat ini tidak diizinkan. “Tujuannya hanya satu kami ingin penyebaran virus ini bisa diputus dan sampai sekarang di wewidangan kami maish zona hijau, sehingga dengan peraram ini kami tidak ingin terjadi hal-hal tidak diinginkan,” katanya.

Selain itu, kalau ada warga yang meninggal dunia, Jro Astawa menyebut, prosesi upacara penguburan juga sudah diatur lewat pereram ini. Jika pada saat warga meninggal dunia ada hari baik, prosesi upacara penguburan berlangsung seperti biasa, namun tetap dengan pembatasan krumunan.

Sebaliknya, kalau belum ada hari baik, prosesi yang dilakukan adalah dikubur dengan istilah mekingsan dan akan diupacara setelah nantinya ada hari baik. “Kalau halangan warga meninggal dunia itu upacara penguburan tetap dilakukan kalau ada dewasa (hari baik, red) dan kalau tidak dilakukan prosesi mekingsan dan itu tetap melakukan pembatasan kerumunan dan penerapan protokol kesehatan (prokes),” jelasnya.

Baca juga:  Krama Sangat Rasakan Manfaat Krematorium Bahagia

Perarem ini juga mengatur terkait pengawasan penduduk pendatang ke desa adat. Dalam hal ini, desa adat tidak mengizinkan ada warga luar desa adat kalau tanpa ada keperluan penting tinggal di wewidangan desa.

Bahkan, jika ada penduduk dari luar provinsi datang ke desa adat, warga bersangkutan terlebih dahulu wajib menunjukkan hasil rapid test. “Aturan adat ini dikenal dengan “taksu” dan memang tidak ada sanksi, namun dengan taksu kami yakin warga mengikuti, demi keselamatan bersama, sehingga lebih cepat bisa keluar dari serangan virus berbahaya ini,” tegasnya. (Mudiarta/balipost)

BAGIKAN