Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.
Kampus pada mulanya merujuk pada daerah yang luas atau lapangan, namun sejak abad ke-20 kata kampus masuk ke lingkungan universitas, yang mengacu pada lingkungan yang berisi bangunan perguruan tinggi sebagai tempat utama semua kegiatan pembelajaran. Sebagai tempat belajar mengajar, kampus berisi orang-orang yang bukan hanya cerdas dan profesional dalam berbagai bidang ilmu, tetapi juga berkarakter, yang mampu menjadikannya sebagai tempat untuk mengolah dan membangun mahasiswa untuk menjadi manusia yang bukan hanya sukses dalam suatu bidang ilmu yang digeluti, tetapi juga menjadi pribadi yang berkarakter.
Namun, fakta membuktikan bahwa kampus yang semestinya menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk semua civitas akademika, terutama mahasiswa yang menjalani proses pendidikan, ternyata memendam sejumlah masalah kekerasan seksual yang sudah terjadi sejak lama. Hal ini memicu pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menerbitkan Peraturan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan perguruan tinggi. Terbitnya peraturan ini merupakan sebuah kebijakan progresif yang dikeluarkan oleh Bapak Menteri Nadiem Makarim untuk memberikan payung hukum.
Data yang ditampilkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dalam sebuah survei yang dilaksanakan pada tahun 2020 sungguh sangat fantastis bahwa 77% dari para dosen Indonesia menyatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Selanjutnya, dari kekerasan seksual yang telah terjadi di kampus-kampus tersebut, 63% korban tidak melaporkan. Jadi mayoritas korban kekerasan seksual lebih memilih memendam masalahnya daripada melaporkannya. Hal ini tentunya tidak baik karena dapat berdampak pada gangguan fisik, psikis, dan kegagalan dalam pendidikan.
Biasanya yang menjadi korban adalah para perempuan, yang berstatus mahasiswa, karena kaum hawa memang dianggap makhluk yang lebih lemah dibandingkan dengan kaum adam yang memiliki lebih banyak kekuatan dan kuasa apalagi memiliki jabatan tertentu. Oleh karena itulah, para perempuan yang menjadi korban sering memilih diam, karena merasa lebih banyak kerugian yang diakibatkan bila melapor.
Ada berbagai alasan mengapa para perempuan korban pelecehan atau kekerasan seksual tidak melaporkan. Pertama bisa jadi karena takut, yaitu takut kena marah sama orangtua atau takut sama dosennya karena diancam tidak lulus. Bila pun berani melapor, biasanya ada stigma negatif dari masyarakat, seperti dianggap manusia kotor, tidak bermoral, dan cap negatif lainnya yang justru lebih memperparah beban mental korban.
Sesungguhnya siapa sih yang salah dalam kasus kekerasan seksual tersebut? Tentu jawaban cepatnya adalah pelakunya yang melakukan pelecehan atau kekerasan seksual tersebut. Namun demikian, sering sekali justru korban yang dianggap bersalah (playing victim) oleh pelaku atau masyarakat pada umumnya. Beberapa alasan yang sering dijadikan kambing hitam kesalahan antara lain korban suka memakai pakaian seksi (terbuka), suka berperilaku menggoda, tidak bisa melawan (bila yang melakukan adalah dosen), tidak bisa menjaga diri (permisif), dan berbagai alasan lainnya. Para kaum hawa memang sering mengalami kondisi bagai peribahasa “sudah jatuh tertimpa tangga pula” yakni sudah menjadi korban kekerasan seksual, namun masih juga dipersalahkan oleh si pelaku dan berbagai pihak lain dengan berbagai alasan.
Terbitnya peraturan tersebut di atas dapat dikatakan bersifat preventif dan kuratif. Bersifat preventif karena peraturan yang dikeluarkan pemerintah dapat mencegah para kaum adam yang suka ‘iseng’ untuk tidak melakukan pelecehan atau kekerasan seksual. Bersifat kuratif artinya peraturan tersebut dapat memberikan kekuatan agar korban mendapatkan penanganan yang maksimal atas kasus yang ditimpa, sehingga para oknum pelaku mendapatkan sanksi (hukuman) yang setimpal atas tindakannya yang tidak senonoh.
Secara preventif, ada beberapa hal yang dapat disarankan kepada para perempuan agar dapat mencegah diri dari pelecehan atau kekerasan seksual, baik yang bersifat dari dalam (internal drive) dan luar (external drive). Dari dalam diri, perlu ada penyadaran diri untuk menampilkan diri secara beretika dan beretiket. Artinya para perempuan perlu menjaga perilaku dan sikap yang baik dan bermartabat serta menjaga tutur kata dan penampilan yang sopan, sehingga pelaku dapat mencegah pikiran, perkataan, dan tindakannya yang ingin ‘menjahati’ perempuan.
Dari luar yang dimaksudkan adalah perempuan harus menjauhkan diri dari pelaku sebelum menjadi korban. Misalnya, menolak melakukan pertemuan untuk mengerjakan tugas atau bimbingan dan kegiatan lain di luar jam kerja dan di luar kampus, usahakan ajak teman mahasiswa lain sesama bimbingan dalam melaksanakan bimbingan, jaga jarak ketika duduk baik di dalam kelas dalam pembelajaran maupun di kantor ketika konsultasi atau bimbingan. Kalau ada indikasi ancaman, segera melapor pada dosen kemahasiswaan, Pembimbing Akademik atau Satuan Tugas khusus pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang ditunjuk kampus, sehingga kasus segera tertangani secara profesional.
Penulis, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha