DENPASAR, BALIPOST.com – Pandemi COVID-19 yang tak kunjung berakhir menyebabkan Bali harus mencari sumber ekonomi lain, termasuk perdagangan luar negeri. Dengan menguatnya hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat (AS), Bali diharap bisa menggarap peluang ekspor ke negara Paman Sam itu.
Duta Besar Indonesia untuk AS Rosan P. Roeslani dalam acara virtual Accelerating Business from Bali to US: Trade Policies and Creating Opportunities in New Era yang diselenggarakan Kadin Bali, Kamis (16/12) mengatakan, dalam masa yang penuh tantangan ini, adaptasi dan kreasi harus dilakukan dalam rangka menjaga momentum yang ada saat ini. Menurutnya, dalam kondisi COVID-19, perdagangan dan investasi antara AS dan Indonesia naik signifikan.
Data dari Januari hingga Oktober 2021, total perdagangan antara AS dan Indonesia mencapai USD 29 miliar, naik 30 persen dibandingkan 2020. Invetasi juga mengalami kenaikan signifikan. Per Oktober 2021 sudah mencapai USD 1,3 miliar, naik dibandingkan periode sebelumnya.
Pertemuan Presiden Jokowi dengan Presiden AS Joe Biden menjadi momen yang tepat membawa akselerasi hubungan AS dan Indonesia. “Ini bisa saya rasakan, awareness dan keinginan mengetahui lebih banyak tentang Indonesia, baik dari segi perdagangan, investasi, kesehatan, ekonomi digital dan ekraf,” ungkapnya.
Hal tersebut dibuktikan dengan kedatangan Menteri Luar Negeri AS, Anthony J. Blinken ke Indonesia yang selama dua hari. Disusul dengan kedatangan pimpinan lain AS dalam rangka menguatkan hubungan kedua negara. “Mereka ingin tahu lebih banyak tentang Indonesia dan peluang yang bisa dilakukan ke depan,” ungkapnya.
Beberapa faktor, seperti perang dagang China dan AS yang masih berlanjut dan dihapusnya Generalized System of Preference (GPS) pada beberapa negara, disebutnya peluang bagi Indonesia untuk maju berdagang dengan AS.
Ia berharap Bali dapat menggali kembali potensi yang bisa diperdagangkan dengan AS dan memberikan insentif untuk investasi yang masuk ke Bali. Pemerintah Indonesia berharap trading dengan AS bisa mencapai USD 60 miliar pada 2024 dan Bali diharapkan berperan dalam mencapai target tersebut.
Ketua Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Provinsi Bali Trisno Nugroho mengatakan, IMF memperkirakan pada 2022, negara maju akan tumbuh tinggi dan AS diperkirakan tumbuh 5,2 persen sedangkan pada 2021 diperkirakan tumbuh 6 persen. “AS tumbuh tinggi dibandingkan negara-negara di Eropa yang diprediksi tumbuh di bawah 5 persen,” ujarnya.
Hubungan dagang antara AS dan Indonesia akan terus meningkat dan neraca perdagangan akan surplus. Pertumbuhan ekonomi AS yang cukup tinggi dibandingkan negara-negara di Eropa, Middle East, Afrika memberikan optimisme bahwa Indonesia dapat menggarap pasar tersebut. Komoditas ekspor Indonesia ke AS seperti produk manufatur dan pertanian.
Peluang ekspor Indonesia ke AS optimis dapat tinggi karena Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan nilai pemanfaatan fasilitas GSP terbesar dan berpotensi meningkat terus. Sebab, pesaing berkurang seiring dengan penghapusan GSP India pada 2019 dan pengurangan fasilitas GSP Thailand pada 2020 karena isu akses pasar pada produk pertanian AS.
“Jadi Indonesia cukup tinggi potensinya, AS memberikan fasilitas GSP pada Indonesia sejak 1980 dan saat ini mencakup 3.572 jenis produk yang berasal dari sejumlah sektor antara lain produk manufaktur, semi manufaktur, pertanian dan perikanan,” ungkapnya.
Namun fasilitas GSP yang telah dimanfaatkan oleh Indonesia baru sekitar USD 2,7 miliar atau kurang lebih sekitar 15,3 persen dari total ekspor RI ke AS pada 2019. Itu, berasal dari 733 jenis produk, meningkat dari USD 2, 3 miliar atau 12,91 persen pada 2018. (Citta Maya/balipost)