Ribut Lupiyanto. (BP/Istimewa)

Oleh Ribut Lupiyanto

Langit gelap menyelimuti Kabupaten Lumajang, Malang dan sekitarnya. Gelap sebagai efek hujan abu dan pasir. Sekaligus gelap berduka akibat bencana erupsi Gunung Semeru. Gunung Semeru sekonyong-konyong memuntahkan isi perutnya pada Sabtu (4/12), diawali dengan kejadian laharan pada pukul 13.30 WIB. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan pada Minggu (5/12) bahwa 14 orang diketahui meninggal dunia, korban luka berat dan ringan 56 orang, serta 300-an KK harus mengungsi.

Setiap kejadian selalu memberikan hikmah pembelajaran, termasuk kebencanaan. Sebagian besar bencana di atas berupa bencana hidrometeorogi. Selain faktor alam, bencana lingkungan banyak terjadi karena dipicu kegiatan manusia atau faktor antropogenik. Bencana tentu mengingatkan kita dan pemimpin untuk semakin bijak dan tegas dalam pelestarian lingkungan agar berkelanjutan.

Hikmah lain yang dapat dipetik antara lain dari keteguhan para korban, ketabahan para pengungsi, dan keikhlasan para relawan. Spirit perjuangan para relawan penting menjadi bahan pembelajaran bagi kita semua.

Perjuangan Relawan

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merncatat lebih dari 2.600 bencana alam terjadi di Indonesia sejak 1 Januari hingga 30 November 2021. Bencana tersebut didominasi dengan bencana alam hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin puting beliung, kekeringan hingga kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Baca juga:  Darurat Penanganan Pengungsi Gunung Agung Diperpanjang Lagi hingga 9 November

Berbagai dampak bencana dapat cepat tertangani dan diminimalisasi berkat aktivitas relawan. Banyak cerita mengharukan di balik aktivitas para relawan saat terjadi bencana. Sudah pasti para relawan datang dan bekerja secara suka rela. Tanpa mengecilkan arti relawan di sektor lain, cerita relawan yang melakukan evakuasi sungguh membanggakan.

Mereka tidak surut meski pekerjaannya bergelut dengan maut. Sesaat sebelum awan panas menerjang, mereka harus sigap mengevakuasi warga yang terancam. Para relawan juga harus sabar membujuk warga agar mau mengungsi hingga relokasi untuk mengantisipasi bahaya.

Pascabencana, mereka masih harus memasuki wilayah rawan bencana guna tanggap darurat. Selamatnya ribuan orang kadang harus ditebus dengan nyawa mereka. Dan inilah ciri-ciri pahlawan sejati, merelakan hidupnya untuk orang lain. Para relawan bukanlah sosok yang fenomenal dan terkenal. Tapi kiranya kepahlawanannya sejajar dengan para pahlawan nasional. Relawan juga dapat dikategorikan pahlawan tanpa tanda jasa.

Relawan tidaklah salah dinobatkan pula sebagai pahlawan dalam kebencanaan. Pahlawan sendiri berasal dari bahasa Sansekerta “Phala-Wan”, artinya orang yang menghasilkan buah atau hasil karya (phala). Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan pahlawan sebagai  orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani. Jadi ada tiga aspek kepahlawanan, yakni keberanian, pengorbanan, dan membela kebenaran.

Baca juga:  Puluhan Miliar Biaya Hotel Karantina dan Operasi Yustisi Belum Dibayarkan

Tindak Kepahlawanan dapat dipahami sebagai perbuatan nyata yang dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga masyarakat lainnya. Kepahlawanan  sendiri memiliki nilai berupa sikap dan perilaku perjuangan yang mempunyai mutu dan jasa pengabdian serta pengorbanan terhadap bangsa dan negara.

Setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk lahir menjadi pahlawan. Apapun profesi, pendidikan, dan latar belakang lainnya, semua mampu meraihnya. Nilai kepahlawanan yang diperbuat tidak penting untuk diketahui ataupun diakui. Upaya konkrit mesti dilakukan dalam rangka menumbuhkan jiwa berani, berkorban, dan membela kebenaran.

Jiwa pemberani terlahir di atas pondasi ideologi yang kokoh.  Pendekatan nasionalisme dan spiritualisme penting diupayakan  dalam menumbuhkannya. Seluruh rakyat mestinya tidak mengenal istilah takut kecuali kepada Tuhan dan negaranya. Berhadapan dengan siapapun pemilik jiwa pemberani akan tetap menegakkan kepala, tidak peduli kepada penguasa, atasan, atau lainnya. Misalnya saja dalam pemberantasan korupsi perlu membutuhkan jiwa pemberani, berani menolak suap, berani melaporkan praktik korupsi, berani memberikan kesaksian, dan lainnya.

Keberanian membutuhkan pengorbanan dan pengorbanan membutuhkan keikhlasan. Konsekuensi atas keberanian yang digaungkan tentu akan menimbulkan ekses dari pihak lawan. Ekses tersebut bervariasi mulai dari ancaman hingga tindakan yang menyerang kehormatan, harta, hingga jiwa. Setiap anak bangsa mesti bersiap diri mengorbankan apapun demi menguatkan keberaniannya menyerukan kebaikan.

Baca juga:  Mendorong Pers Jadi Pusat Rujukan

Keberanian dan pengorbanan mestinya dibungkus oleh satu visi yaitu membela kebenaran. Bukanlah pahlawan yang berani dan berkorban bukan untuk kebenaran. Atau untuk kebenaran tetapi demi pamrih tertentu. Pembelaan kebenaran tentunya tidak dilakukan serampangan sehingga dapat menimbulkan efek kekonyolan. Semua mesti didasari pada peraturan perundangan serta norma yang berlaku. Pembelaan kebenaran juga membutuhkan pengorganisian yang taktis dan sistematis.

Jika semua memiliki jiwa kepahlawanan, maka tidak akan ada ruang bagi pecundang yang merusak bangsa ini. Musuh terbesar dan terberat sekarang bukanlah negara asing melainkan bangsa sendiri. Pemberantasan korupsi, kriminalitas, narkoba, miras, dan kejahatan lainnya menjadi obyek pembuktian nilai kepahlawanan. Hal yang perlu diwaspadai kepahlawanan tidak membutuhkan popularitas. Kepahlawanan sejatinya adalah laku sunyi tetapi sistematis dan masif.

Kejadian bencana erupsi Gunung Semeru dan lainnya meninggalkan banyak seri perjuangan kepahlawanan yang penting dijadikan bahan pembelajaran. Semoga refleksi kepahlawanan yang implementatif dapat membangkitkan motivasi bangsa ini menuju pembangunan berkelanjutan yang tanggap bencana serta dalam menggapai kemajuan hingga kancah global.

Penulis, Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)

BAGIKAN