I Gst. B Ngr. P. Putra. (BP/Istimewa)

Oleh I Gst. B Ngr. P. Putra

Bali merupakan salah satu destinasi pariwisata favorit bagi wisatawan dunia. Opini tersebut didasarkan atas data yang menyatakan bahwa Bali selalu masuk ke dalam jajaran lima besar destinasi pariwisata terbaik di dunia berdasarkan Tripadvisor. Situs travel planning dan booking itu bahkan pernah menobatkan Bali sebagai destinasi pariwisata terbaik nomor satu di dunia pada tahun 2018.

Selama beberapa dekade, sektor pariwisata menjadi salah satu lokomotif penggerak perekonomian Bali. Namun, perlu diingat bahwa apapun yang berlebihan tidaklah baik, termasuk ketergantungan perekonomian Provinsi Bali terhadap satu sektor saja yakni sektor pariwisata. Sektor pariwisata sangat rentan terguncang oleh aksi terorisme, bencana alam, dan wabah penyakit.

Apabila sektor pariwisata terguncang, maka mayoritas perekonomian masyarakat Bali akan
merasakan dampaknya. Akhir tahun 2019, Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) atau yang lebih dikenal dengan nama Virus Corona mulai merebak di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Covid-19 menjadi teror yang maha mengerikan bagi masyarakat dunia karena penyebarannya yang sangat cepat.

Baca juga:  Praktisi Hotel di Sanur Bentuk SHF

World Health Organization (WHO) bahkan telah meningkatkan status kasus Virus Covid-19 menjadi pandemi. Setelah kurang lebih dua tahun sejak Covid-19 merebak, sudah sangat banyak jumlah korban jiwa yang berjatuhan. Hal yang tidak kalah memprihatinkan adalah terguncangnya perekonomian masyarakat Bali, yang bermuara pada kesulitan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan pangan.

Beragam upaya telah dilakukan masyarakat Bali dalam upaya bertahan hidup. Salah satu bentuk kreativitas serta inisatif yang ditemukan pada masyarakat perkotaan di masa pandemi ini adalah implementasi praktik aquaponic dan budikdamber sebagai upaya alternatif dalam menjaga ketahanan pangan secara mandiri.

Apabila dikaji lebih mendalam dan dikaitkan dengan ilmu ekonomi, sebenarnya praktik tersebut merupakan bentuk nyata dari implementasi konsep ekonomi biru (The Blue Economy). Ekonomi Biru (The Blue Economy) menjadi konsep yang menarik untuk dikaji lebih mendalam. Prof. Dr. Gunter Pauli sebagai penemu konsep The Blue Economy menyatakan bahwa konsep ini digambarkan sebagai sebuah kegiatan usaha ramah lingkungan dengan berpedoman pada cara kerja alam, memanfaatkan sumber daya yang dimiliki, serta menitikberatkan pada efisiensi.

Baca juga:  KTT AIS Forum Momentum Gerakkan Ekonomi Biru

The Blue Economymerupakan konsep optimalisasi sumber daya yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui berbagai kegiatan yang inovatif dan kreatif dengan tetap menjamin keberlanjutan usaha dan kelestarian lingkungan. “Nature Is Our Master” merupakan semboyan yang melekat pada Konsep The Blue Economy.

Konsep The Blue Economy mampu menawarkan solusi berkelanjutan (sustainable solution) yakni menciptakan multiple effect atau efek berganda yang dapat menggerakkan banyak sektor di saat efek negatif domino justru ditimbulkan oleh pandemi Covid-19. Bentuk nyata implementasi konsep The Blue Economy ini adalah mengintegrasikan budidaya ikan ke dalam kegiatan bercocok tanam (aquaponic). Sementara dalam lingkup yang lebih kecil berskala industri rumah tangga adalah sistem Budikdamber (budi daya ikan dalam ember). Pemanfaatan lahan pekarangan yang masih kosong sangat memungkinkan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dan perekonomian rumah tangga.

Bentuk pemanfaatannya dapat dilakukan dengan budidaya pertanian dan perikanan skala kecil. Apabila hal ini dilakukan secara optimal, akan mampu memberikan dampak positif seperti mengurangi pengeluaran terkait konsumsi sayur-sayuran dan ikan, serta mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga lewat hasil penjualan hasil produksi pemanfaatan lahan pekarangan tersebut.

Baca juga:  Menata Besakih, Menjaga Budaya Bali

Metode ini mampu menghasilkan produk tanaman dan ikan organik. Adapun sistem kerjanya yaitu memanfaatkan ganggang dan sisa pakan serta kotoran yang dihasilkan oleh ikan, dimana hal ini tidak akan menimbulkan kadar toksik pada kolam ikan melainkan berguna sebagai pupuk dalam wujud cair untuk tanaman sayuran. Kebutuhan pupuk dan air tidak lagi menjadi masalah dan akan menekan biaya produksi. Biaya yang terpangkas dari program ini selain berasal dari biaya bahan baku dan pupuk juga adanya upah tenaga kerja untuk pemeliharaan.

Melalui teknik budidaya semacam ini juga mampu memperkuat ketahanan pangan keluarga. Ketika kemegahan gedung, beton, dan gemerlap pariwisata itu memudar, pada saat itulah kita mulai sadar bahwa keberadaan alam dan lingkungan sangatlah berarti.

Penulis, Mahasiswa PSDIA Universitas Udayana

BAGIKAN