Suasana sidang dengan terdakwa Dewa Puspaka yang digelar Pengadilan Tipikor Denpasar, Selasa (28/12). (BP/asa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Dua nama cukup menjadi perhatian dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejati Bali dalam kasus dugaan gratifikasi dan TPPU, Ir. Dewa Ketut Puspaka (DKP). Dalam surat dakwaan JPU Agus Eko Purnomo dkk., Selasa (28/12), muncul nama Bupati Gianyar, I Made Mahayastra dan Made Chandra Berata.

Dua nama yang disebut jaksa ini merupakan penerima aliran dana (transfer) dari Made Sukawana Adika atas perintah DKP. JPU dihadapan majelis hakim pimpinan Heriyanti membeber dakwaannya hingga aliran dana yang masuk ke terdakwa yang saat itu menjabat Sekda Buleleng.

Dalam dakwaan JPU, kasus ini mengarah pada pemerasan atau memaksa meminta uang pada investor. JPU menerangkan bahwa terdakwa selaku sekda secara melawan hukum menguntungkan diri sendiri atau orang lain senilai Rp 16.101.060.000 dengan menyalahgunakan kekuasaanya sebagai Sekda Kabupaten Buleleng.

Rinciannya, memaksa seseorang memberikan sesuatu, yaitu PT. PEI memberikan sekitar Rp 1.101.060.000, PT. TS memberikan Rp 12.500.000.000, dan H. Chojum selaku Direktur PT. Budi Daya Remaja Rp 2.500.000.000. Dijelaskan JPU, bahwa terdakwa selaku Sekda Buleleng mempunyai tugas secara umum membantu bupati dalam menyusun kebijakan dan pengorganisasian administratif terhadap pelaksanaan tugas perangkat daerah serta pelayanan administratif.

Baca juga:  Gunung Agung Kembali Erupsi, Bali Tetap Aman

Persoalan terjadi bermula pada 2014 atau 2015, yang mana terdakwa Dewa Puspaka bertemu dengan DAG selaku Direktur PT TS. Dalam pertemuan itu dibahas terkait pembangunan terminal penerima dan distribusi LNG Celukan Bawang dan proposal penyewaan lahan Desa Adat Yeh Sanih.

Proyek itu akan diambil anak perusahaan PT. TS, yakni PEI. Terdakwa bertemu dirutnya, saksi BI di Kantor Sekda Buleleng. Dalam pertemuan itu, kata JPU, jika investor serius membangun insfrastruktur energi bersih, terdakwa bersedia membantu dan menjanjikan kelancaran proses pengurusan izin.

PT. PEI kemudian mempersiapkan persyaratan yang diperlukan dengan menggunakan jasa Hendri J. Pandiagan dan CV. Singajaya Konsultan. Penggunaan CV itu atas rekomendasi terdakwa.

Jenis pekerjaan yakni pembuatan DELH dan izin lingkungan dengan biaya yang disepakati Rp 425 juta sampai terbit SK Gubernur. Pembuatan kajian UKL-UPL yang disepakati Rp 300 juta. Sehinga totalnya Rp 725.000.000.

Dalam kenyataanya, ucap jaksa, PT. PEI melakukan pembayaran pada saksi Made Sukawan Adika sebesar Rp 1.826.060.000. Sehingga ada kelebihan Rp 1.101.060.000.

Lanjut JPU, terkait dengan permintaan pembayaran, terdakwa DKP selalu menelepon pihak PT. PEI. Terkait kelebihan membayar, ungkap jaksa, selisih itu karena adanya uang titipan dari PT. PEI kepada terdakwa, karena terdakwa sebelumnya pernah menjanjikan kemudahan dan percepatan perizinan. “PT PEI terpaksa memenuhi permintaan terdakwa karena khawatir pengurusan perizinan akan dihambat dan dipersulit oleh terdakwa,” tegas jaksa.

Baca juga:  Gen Z, Generasi Penentu Kepemimpinan Bali

Saksi Sukawana Adika hanya mengambil Rp 725.000.000 dan sisanya Rp 1.101.060.000, atas perintah terdakwa ditransfer ke I Made Mahayastra Rp 300 juta, Made Chandra Berata Rp 25 juta dan ke terdakwa Rp 776.060.000.

Terkait Yeh Sanih, dibuatkan surat kuasa dari kelian adat atas nama Putu Jeneng Kawi kepada Made Sukawan Adika. Kata jaksa, yang mempersiapkan surat kuasa adalah terdakwa DKP.

PT. TS sudah melakukan pembayaran terkait sewa lahan Desa Adat Yeh Sanih sekitar Rp 12,5 miliar. Adika kemudian memberikan Rp 200 juta pada Putu Jeneng Kawi untuk pembelian gong dan juga atas perintah terdakwa diberikan ke Desa Adat Yeh Sanih Rp 270 juta (sebanyak dua kali), sehingga total yang diterima Desa Adat Yeh Sanih, kata JPU, sebesar Rp 540 juta.

Uang itu tidak diserahkan ke desa adat, namun dikembalikkan pada terdakwa. Yang menarik, dalam dakwaan jaksa, disebutkan bahwa lahan Desa Adat Yeh Sanih, sejatinya tidak pernah disewakan oleh pihak desa adat.

Baca juga:  Harga Anjlok, Petani Biarkan Cabai Busuk di Pohon

Pada 2015, perusahan Canada, yakni Airport Kinesis Consulting dengan perwakilan di Indonesia PT. Bibu Panji Sakti (bergerak dalam bidang pembangunan bandara) mengajukan permohonan presentasi pembangunan bandara ke Bupati Buleleng. Atas permohonan itu, terdakwa selaku Sekda Buleleng mengundang Airport Kinesis Consulting yang diwakili PT. Bibu Panji Sakti.

Almarhum I Made Sudana menghubungi Made Wijanaka selaku pemilik galian C, karena mendapat informasi dari terdakwa bahwa pembangunan bandara butuh tanah dan batu untuk pengurukan. Almarhum Sudana mengenalkan Wijanaka ke pembeli tanah H. Chojum.

Para saksi ini kemudian bertemu dengan terdakwa DKP. Menurut JPU dalam dakwaanya, terdakwa DKP menyalahgunakan kekuasaanya selaku Sekda Buleleng untuk meminta uang pada H. Chojum, dengan melalukan beberapa kali pertemuan. “Terdakwa minta kepada Chojum untuk menyiapkan biaya untuk membantu pengurusan izin. Dan membantu pencalonan anak terdakwa sebagai legislatif 2019 lalu,” tegas jaksa.

Atas permintaan itu, Chojum memberikan Rp 2,5 miliar.

Atas dakwaan itu kuasa hukum terdakwa, I Gede Indria, Agus Sujoko dkk., tidak keberatan, sehingga tidak mengajukan eksepsi. (Miasa/balipost)

BAGIKAN