Ni Nyoman Srutiningsih. (BP/Istimewa)

Oleh Ni Nyoman Srutiningsih

Berkembangnya era digitalisasi yang semakin canggih, kemudahan akses di manapun dan hingga geliat peminat smartphone yang semula diperuntukan orang dewasa, saat ini anak-anak usia sekolah pun dapat mengaksesnya dengan mudah. Pemberlakuan
pembatasan sosial yang dikeluarkan pemerintah dikarenakan pandemi Covid-19 menambah kedekatan anak-anak terhadap alat digital ini.

Mereka bisa mengakses smartphone dari pagi hingga malam sesuaibdengan jam belajar pada umumnya ditambahndengan pekerjaan rumah (PR) sekolah. Seiring lamanya pandemi Covid-19, anak-anak pun
seakan sudah terbiasa dengan produk-produk gadget ini, hingga para orang tua kadang kecolongan putra-putri mereka mengakses fitur-fitur smartphone seperti games, youtube dan tiktok pada jam sekolah.

Saat ini mengikuti trend menjadi standar penerimaan baik hubungan pertemanan maupun bermasyarakat. Dampaknya tak jarang beberapa kelompok anak-anak sekolah melakukan tindakan yang yang sekadar
mengikuti apa yang teman mereka lakukan lewat aplikasi smartphone. Mereka selalu meng-update berita harian dengan mencari apa yang sedang viral saat itu, bahkan anak-anak sekolah yang masih tergolong kecil pun bisa mengomentari salah satu berita kematian artis yang bahkan dia tidak kenal sebelumnya.

Baca juga:  Junjung Tinggi Netralitas, Polres Komitmen Wujudkan Pilkada Aman

Berkembangnya aplikasi digital secara cepat, meningkatkan penyebaran komunikasi dan informasi pun secara cepat yang kadang mengakibatkan anak-anak kurang memfiltrasi informasi-informasi sehingga mereka tidak betul-betul mengerti dengan informasi yang disebarkan di dunia maya. Penyebaran informasi yang salah di dunia maya sering menimbulkan hoaks.

Hoaks menurut KBBI adalah informasi bohong. Informasi yang salah ini bisa menjadi malapetaka bagi penyebar informasi. Dalam kominfo.go.id, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Rikwanto, 2017 menegaskan bahwa Penyebar Hoaks atau informasi palsu bias dikenakan KUHP,
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dan Undang-Undang No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, jika tindakan sudah menjurus ke ujaran kebencian dan telah menyebabkan terjadinya konflik sosial.

Baca juga:  ”Kenceng’’: Romantisme Kampus dan Kegagalan Manusia

Bagaimana jika anak-anak usia sekolah terjerat dengan undang-undang ini? Siapa yang akan bertanggung jawab? Budaya membaca sejak dini
untuk generasi anak muda yang berkualitas adalah solusi pencegahan menangkal Hoaks.

Anak-anak usia dini hingga sekolah menengah perlu budaya yang menumbuhkan minat membaca mereka lebih mendalam. Budaya membaca dapat diawali dari lingkungan rumah dengan bimbingan orangtua, selanjutnya di tahap kedua di lingkungan sekolah.

Orangtua dapat meluangkan waktu setiap hari untuk menemani putra-putri mereka dalam membaca, sebaiknya orang tua pun ikut membaca sebagai teladan bagi putra-putrinya. Ciptakan ruang diskusi yang demokrasi agar orangtua bisa mendengar pemikiran kritis putra-putrinya khususnya yang menginjak remaja.

Orangtua seyogyanya bisa menempatkan diri sebagai teman curhat agar anak-anak dapat mengekspresikan pendapatnya secara leluasa dan diharapkan menghindari memaksakan pendapat mereka. Figur orangtua kedua adalah bapak-ibu guru di sekolah.

Baca juga:  UKM Harus Kompetitif dan Adaptif

Bapak-ibu guru selain mengemban tugas mendidik murid-murid setiap harinya, diharapkan juga berorientasi untuk menumbuhkan minat membaca kepada anak didiknya. Menciptakan kreatifitas untuk
menumbuhkan minat membaca anak didik, menciptakan perpustakaan kecil di kelas dengan suasana nyaman dengan warna-warna yang menarik, melengkapi buku-buku yang up to date dan relevan dengan perkembangan zaman serta menciptakan jam khusus membaca diharapkan mendorong budaya membaca yang lebih intensif di lingkungan sekolah.

Dengan rutinitas di rumah dan di sekolah yang kental
dengan budaya membaca, diharapkan anak-anak generasi era digital tetap memahami dan berpedoman etika-etika dalam bersosial media. Cerdas memilah informasi pada era digital haruslah menjadi budaya baru yang ditumbuhkan sejak dini. Mentalitas positif
dengan ikut menyebarkan informasi positif, valid dan berkualitas hendaknya menjadi sebuiah kearifan pribadi.

Penulis mahasiswa Prodi S-2 Ilmu Manajemen Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja Bali

BAGIKAN