Oleh Agung Kresna
Di tengah sektor pariwisata yang mengalami pukulan yang sangat hebat, sektor pertanian justru mampu bertahan. Bahkan tumbuh positif dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain. Detail seperti ini semua harus tahu dan apa yang harus kita lakukan kita semua harus mengerti. Demikian Presiden Jokowi saat luncurkan peta jalan Ekonomi Kerthi Bali (Bali Post, 4/12).
Kesediaan Presiden Joko Widodo meluangkan waktu untuk meluncurkan peta jalan ekonomi Bali tersebut, menunjukkan perhatian pemerintah yang cukup besar dalam upaya membangkitkan perekomian Bali yang terpuruk. Presiden seakan mengajak krama Bali untuk menengok kembali warisan ekonomi kebudayaan dari nenek moyang krama Bali.
Hakikat ekonomi Bali pada dasarnya memang pertanian. Berawal dari budaya bertani, nenek moyang krama Bali melahirkan tatanan sawah berundak nan eksotis dengan tata air subak yang telah diakui dunia. Berlanjut dengan kegiatan seni-budaya dan craftsmanship di sela bertani, hingga akhirnya dikunjungi wisatawan yang terpesona oleh alam dan budaya Bali. Denyut kehidupan keseharian krama Bali memang seirama dengan detak kehidupan pertanian yang mengikuti kalender siklus musim alam. Berbagai upakara sesuai religiusitas Hinduisme krama Bali tetap berlangsung sesuai kalender triwara, pancawara, saptawara, sasih, hingga wuku; meski aktivitas kesehariannya dalam pusaran industri pariwisata.
Harus diakui, maraknya industri pariwisata Bali sedikit banyak telah memberi dampak negatif terhadap alam dan budaya Bali yang tidak kita inginkan. Eksplorasi yang berlebihan atas budaya dan alam Bali demi memenuhi tuntutan wisatawan, telah berubah menjadi eksploitasi atas budaya dan alam sehingga berakibat gangguan keseimbangan alam dan kehidupan. Filosofi hidup krama Bali Tri Hita Karana sebenarnya telah mengajarkan betapa pentingnya nilai keseimbangan dalam keseharian kehidupan kita. Keseimbangan dalam artian keharmonisan, menjadi kata kunci dalam filosofi ini agar tercapai kebahagiaan/kesejahteraan. Keharmonisan kehidupan dalam tataran Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan.
Selama ini upaya peningkatan kesejahteraan ekonomi krama Bali secara tidak sadar telah memberi dampak negatif terhadap alam dan gumi Bali. Belum lagi ditimpali dengan terjadinya pandemi Covid-19 yang membuat perekonomian Bali terpuruk di titik terendah; utamanya akibat pembatasan mobilitas manusia guna memutus rantai penularan virus Covid-19. Ekonomi Bali harus dijalankan dengan tanpa merusak alam dan budaya Bali. Filosofi hidup krama Bali melalui sikap komunal penuh kemitraan yang telah menjadi local wisdom warisan tradisi ekonomi kebudayaan nenek moyang krama Bali, harus kembali dibangkitkan. Beberapa tindakan menjaga warisan ekonomi kebudayaan Bali dapat disiapkan.
Pertama, harus ada paradigma baru atas industri pariwisata Bali. Selama ini –atas nama pariwisata- secara tidak sadar kita telah melakukan kegiatan yang membuat terjadinya degradasi alam, moral, dan budaya akibat gaya hedonisme melalui infiltrasi budaya asing. Pariwisata harus dikembalikan kepada marwah peradaban pertanian dan budaya Bali. Kedua, sendi sosial-budaya krama Bali sebagai social capital harus kembali menjadi panduan dan benang merah pada setiap tindakan para stakeholder dalam menyikapi situasi ekonomi dilematis akibat pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini. Demi selalu menjaga keseimbangan antara materialisme dan spiritualisme.
Ketiga, lokomotif perekonomian Bali harus dikembalikan pada budaya pertanian dan berkesenian lewat industri kreatif, yang telah menjadi jati diri kehidupan keseharian dalam tradisi nenek moyang krama Bali. Sementara pariwisata hanyalah produk akhir akibat resultante kegiatan pertanian dan kesenian/kebudayaan/industri kreatif krama Bali.
Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar