DENPASAR, BALIPOST.com – Ni Wayan Purnami Rusadi (30) sedang sibuk mengemas jamur hasil budi daya ketika Bali Post berkunjung ketiga kalinya. Emik, panggilan akrabnya tidak hanya melakukan budi daya, tapi juga mengolah pascapanen hasil jamurnya.
Jamurnya diolah dalam bentuk jamur crispy, keripik, nugget, dan sosis, tergantung pesanan. Meski dilakukan pengolahan, Emik lebih banyak menjual dalam bentuk mentah namun dengan kemasan yang apik.
Menurutnya, kemasan yang apik akan meningkatkan nilai jual. Begitulah pengolahan pascapanen yang ia pelajari di perguruan tinggi.
Di hulu, ia menanam jamur dengan cara tanam dan perawatan nonkimia. Sehingga jamur yang dihasilkan lebih sehat, bebas dari bahan kimia.
Ia memanfaatkan pekarangan teba sebagai tempat membuat kumbung atau rumah jamur. Dalam satu kumbung terdapat maksimal 1.000 baglog.
Sedangkan ia memiliki dua rumah jamur. Butuh waktu satu hingga tiga minggu untuk dapat memanen jamur tiram.
Sekali panen ia bisa mendapatkan 2 kg jamur tiram per hari. Itupun fluktuatif.
Menurutnya salah satu tantangan berbudi daya jamur tiram adalah hasil dari jamur tiram tidak sekaligus bisa didapatkan sehingga hasilnya pun tidak
signifikan langsung besar. Hal inilah yang kerap membuat petani jamur tiram banyak yang tumbang. “Hasil yang fluktuatif itu yang membuat kita merasa
budi daya jamur tiram tidak ada penghasilan atau tercampur dengan keuangan yang lain. Catatan ada tapi hasilnya tidak ada, itu karena hasilnya tidak
bisa dijual dalam waktu yang sekaligus,” jelasnya.
Saat memulai budi daya jamur tiram pada 2012, belum banyak yang mengembangkan. Namun begitu ia mulai mengembangkan dan melakukan edukasi ke mana-mana. “Tapi tidak sedikit juga yang akhirnya mundur karena faktor tadi, yaitu hasilnya tidak langsung kelihatan besar,” ujarnya.
Dengan lahan yang terbatas di Kota Denpasar, ia memutar otak agar dapat mengembangkan pertanian. Salah satu solusi yang muncul di benaknya adalah memanfaatkan lahan teba yang saat itu digunakan
untuk kandang bebek.
Bagi warga di Kota Denpasar, teba, wilayah nista mandala dari rumah menjadi lahan yang strategis untuk pembuatan kubung (rumah jamur). Selain
karena rimbun dengan pohon-pohon berbatang keras, tanah teba juga biasanya subur dan lembab, karena sampah organik diurai di sana oleh makhluk tanah. “Ada beberapa warga yang punya lahan teba bisa memanfaatkan jadi lebih produktif, kadang dulu teba dipakai buang sampah atau pelihara ternak, tapi ternyata ada komoditas lain yang bisa dikembangkan di teba yaitu jamur tiram,” ungkapnya.
Bersama keluarganya, Emik bahu membahu merawat
jamur tiram dan mengolahnya. Bahkan pandemi Covid-19 memang membuat permintaannya menurun sehingga produksi juga diturunkan.
Namun ia tetap konsisten bertani jamur tiram. Masyarakat dapat membeli jamur tiram Bee Jamur di
Banjar Denyeh, Jalan. A.Yani Utara, Denpasar, Bali atau via Instagram @beejamur.
Konsistensinya mengembangkan pertanian di lahan
kota inilah yang membuatnya penerima penghargaan
K.Nadha Nugraha pada Rabu (5/1). Baginya, penghargaan tersebut merupakan motivasi baginya untuk terus bertani. “Pada awalnya diinformasikan
dapat penghargaan, kaget tapi ini jadi motivasi buat saya,” ujarnya. (Citta Maya/balipost)