DENPASAR, BALIPOST.com – Wacana migrasi ekonomi semakin menguat setelah sektor pariwisata terdampak parah karena pandemi COVID-19. Meski hal ini wacana lama, namun penguatan SDM dan infrastruktur digital harus dikuatkan dari sekarang. Demikian pendapat para pengamat dan praktisi ekonomi, Selasa (11/1).
Akademisi dari Undiknas Prof. Gede Sri Darma, mengatakan, saat ini untuk jangka pendek Bali harus dijadikan zona hijau untuk mengaktifkan kembali pariwisata. Selain itu, ia juga menyebut perlunya insentif bagi pelaku usaha, baik berupa restrukturisasi utang atau bantuan likuiditas agar pelaku usaha pariwisata dapat kembali on.
Serta perlunya bantuan sosial untuk menumbuhkan daya beli masyarakat. “Semua upaya ini harus didukung oleh seluruh komponen masyarakat,” tegasnya.
Menurutnya, saat inilah momen yang tepat untuk migrasi dari sektor pariwisata ke sektor lainnya. Ke depan menurutnya, pariwisata tetap menjadi ikon Bali namun bukan hanya pariwisata budaya juga educational tourism (wisata pendidikan) dan medical tourism (wisata kesehatan). “Karena dua bidang tersebut punya peluang besar untuk bisa menggerakkan pariwisata Bali, selain digital tourism,” tandasnya.
Sementara dalam jangka panjang, pariwisata yang tidak lagi 80 persen menjadi penyangga ekonomi Bali, ke depan akan berkembang sektor pariwisata dalam arti luas dan industri pengolahan hasil pertanian. “Inilah saatnya untuk memulihkan situasi ekonomi Bali agar jangan meletakkan telur dalam satu keranjang,” jelasnya.
Dunia pendidikan termasuk kampus sebagai pencetak SDM yang bekerja di bidang tersebut pun harus bersiap menghadapi perubahan zaman. Mau tidak mau, suka tidak suka, kampus di Indonesia harus bersiap dengan kedatangan kampus asing dengan terus berbenah.
Apalagi kemajuan proses pendidikan yang berbasis online saat ini harus diadopsi kampus. “Kampus yang dulu mengandalkan fisik kampus, sekarang lebih mengandalkan kualitas dosen dan infrastruktur tenologi dan informasi. Undiknas pun siap dengan kami menambah skill dosen-dosen kami,” ujarnya.
Tidak hanya pada persaingan antar kampus, masalah SDM juga berkaitan dengan ekosistem pendidikan khususnya di Bali. Bali yang notabene lebih dominan memiliki SDM di bidang pariwisata, memiliki tantangan besar dalam migrasi ekonomi.
“Mereka harus beradaptasi, migrasi yang semula skillnya di bidang pariwisata, sambil menunggu pariwisata, juga mengasah skill di bidang lainnya,” tegasnya.
Pemerintah yang juga memiliki kepentingan terhadap pembangunan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai indikator pencapaian kinerja pemerintah juga harus berkontribusi terhadap SDM yang dimiliki.
“Ke depannya, multi tasking harus menjadi sesuatu hal yang biasa, digitalisasi harus dipelajari dan dimanfaatkan oleh semua orang karena perkembangan teknologi tidak dapat dihindari. Mau tidak mau, kita harus ikut dalam arus itu. Demikian juga para pelaku usaha harus memanfaatkan teknologi dengan memiliki skill tambahan di bidang tersebut untuk memperkuat usahanya,” ujarnya.
Ditambahkan akademisi dari Universitas Udayana Prof. Wayan Suartana, migrasi ekonomi dengan peta jalan Ekonomi Kerthi sejalan dengan paradigma pembangunan ekonomi berkelanjutan. Tujuannya, tidak hanya memenuhi kebutuhan sekarang tetapi juga generasi yang akan datang.
Peradaban modern dengan digitalisasi harus disikapi krama Bali dengan mengubah mindset sehingga lahir portofolio penghasilan krama Bali dengah risiko yang relatif rendah. Dengan ketidapastian pariwisata yang begitu tinggi, fokus ke pertanian dalam arti luas, perikanan, dan digitalisasi UMKM merupakan sasaran strategis daya tahan ekonomi.
Dengan branding yang dimiliki, krama Bali harus siap memasuki era new normal yang menjamin keamanan dan kenyamanan siapapun yang berbisnis di Bali. Dengan demikian Bali harus menjadi centre of gravity dalam bisnis digital di samping usaha tradisional yang sudah ada.
Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Bali, Pande Agus Widura mengatakan, sebelum melakukan migrasi ekonomi perlu dipikirkan terlebih dahulu kesiapan pelaku usahanya. Terutama, terkait cash flow, karena diakui dampak pandemi sangat memukul cash flow pelaku usaha di Bali. “Jadi dalam short term ini yang perlu dipikirkan adalah cash flow bukan hanya masalah SDM,” ujarnya.
PMK 32/2021 ia mengusulkan untuk direvisi agar pelaku usaha dapat msngakses kredit ditengah berjalannya restrukturisasi kredit, karena pengusaha muda khususnya di Bali. Pada PMK tersebut dijelaskan kredit dapat diberikan di tengah restrukturisasi tengah berjalan namun dengan syarat pendapatan pelaku usaha di atas Rp 50 miliar dan hutang tidak lebih dari Rp 10 miliar.
“Jadi jika ingin migrasi ekonomi atau diversifikasi bisnis, dalam jangka pendek agar pelaku usaha dibantu memperbaiki cash flow. Memang migrasi ekonomi harus dilakukan tapi saat ini kondisi dunia usaha di Bali belum baik. Jangan sampai ingin memperbaiki ekonomi tapi justru malah memperburuk situasi ekonomi,” tegasnya. (Citta Maya/balipost)