Sejumlah nasabah dan deposan LPD Anturan di Kecamatan Buleleng menemui pengurus dan badan pengawas pada Selasa (4/1/2022). (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Lembaga Perkreditan Desa (LPD) didirikan untuk mensejahterakan sekelompok kecil yang disebut dengan masyarakat desa pakraman, bukan mensejahterakan pengurusnya. Pemerintah memberikan modal usaha, sehingga diharapkan dapat dikelola untuk kesejahteraan masyarakat. Namun faktanya, banyak LPD bermasalah hingga masuk ke ranah pengadilan.

Kasus yang menjerat LPD di Bali tidak mesti nyangkut keperdataan, namun banyak masuk ranah pidana korupsi. Kerugiannya pun tidak tanggung-tanggung. Nilainya mencapai ratusan juta hingga ratusan miliaran rupiah.

Banyaknya kasus korupsi membuat kejaksaan mesti turun tangan. Tidak hanya penindakan, namun juga melakukan pencegahan dengan memberikan pemahaman hukum dan dampaknya.

Kejari Badung memanggil seluruh pengurus LPD (ada 122 LPD) di Badung. Mereka diberikan penyuluhan, sehingga diharapkan tidak lagi ada kasus korupsi. Namun yang hadir hanya belasan orang, karena masih kondisi pandemi Covid-19.

Faktanya, masih ada pidana korupsi masuk Pengadilan Tipikor Denpasar. Teranyar, polisi sedang membidik kasus LPD Ungasan, Badung yang konon kerugiannya mencapai Rp 32,5 miliar. Perkara ini sudah menempatkan mantan Ketua LPD Ungasan, Ngurah Sumaryana sebagai tersangka.

Di saat kasus LPD Ungasan mencuat, tiba-tiba muncul lagi kasus LPD Desa Adat Begawan, Payangan yang heboh. Seorang nasabah mengaku tidak bisa mencairkan depositonya karena kas kosong.

Yang meresahkan, konon uang deposito nasabah mencapai Rp 22 miliar. Audit pun kini sedang dilakukan.

Ada pula LPD Serangan, Denpasar Selatan, yang progresnya tinggal menunggu expose bersama BPKP. Sementara Ketua LPD Desa Adat Anturan, Buleleng, Nyoman Arta Wirawan ditetapkan sebagai tersangka korupsi berdasar Surat Penetapan Tersangka Nomor: B-713/N.1.11/Fd.2/11/2021 tanggal 22 November 2021. Berdasar hasil penyelidikan dan penyidikan, tersangka diduga melakukan korupsi hingga Rp 137 miliar.

Yang menarik, dalam persoalan LPD, bandesa adat selalu dibawa-dibawa karena dinilai sebagai pengayom dan menerima laporan pertanggungjawaban. Bahkan tak jarang Jro Bandesa Adat kena imbas hingga ada beberapa orang yang harus duduk di kursi pesakitan.

Baca juga:  Program Pelestarian Seni dan Budaya Bali Mesti Dilanjutkan

Perkara LPD yang sedang proses pembuktian di Pengadilan Tipikor Denpasar saat ini ada LPD Ped Nusa Penida (Rp 4,4 miliar), LPD Belusung, Gianyar (Rp 2,6 miliar), LPD Tuwed, Jembrana  (Rp 989 juta/sudah ada pengembalian) dan LPD Tanggahan Peken, Bangli (Rp 3,3 miliar). Dan berdasarkan data SIPP PN Denpasar, sejumlah LPD di Badung dan Denpasar, ada yang terdaftar sebagai penggugat, tergugat dan turut tergugat. Kasus yang teregistrasi ada yang masuk perbuatan melawan hukum (PMH), ada wanprestasi dan ada yang umum.

Perkara LPD yang sudah putus di Pengadilan Tipikor Denpasar ada LPD Gerokgak (Buleleng). Ketua LPD-nya, Komang Agus Putrajaya divonis 3 tahun penjara. Dalam catatan jaksa, kerugian Rp 1,264 miliar. Tiga pengurus lainnya, Made Sudarma selaku Sekretaris LPD, Kadek Suparsana karyawan kredit dan Nyoman Milik selaku bendahara LPD iku terseret di Pengadilan Tipikor. Ada juga LPD Kalianget (Buleleng). Kerugian LPD Rp 355 juta, namun dalam persidangan hakim meminta Ketua LPD, I Ketut Darmada, membayar Rp 279 juta. Di Pengadilan Tipikor Denpasar, Darmada divonis empat tahun dan enam bulan penjara.

LPD Bebetin (Buleleng). Ketua LPD Bebetin saat itu, I Cening Wartana (56) dihukum  dua tahun. Kerugian LPD Rp 2.415.500.000. Namun dalam penyidikan, kerugian negara sudah dikembalikan. Selain itu ada LPD Banyualit (Buleleng) dan LPD Sinabun (Buleleng) yang masuk Pengadilan Tipikor.

Di Badung ada LPD Kekeran,  LPD Kapal,  LPD Adat Kelan.  LPD Kapal yang bikin heboh karena kerugiannya cukup banyak, dan menyeret pelaku juga lumayan banyak. Di Bangli ada LPD Tanggahan Peken dan LPD Desa Pekraman Selat. Di Tabananada LPD Sunantaya,

LPD Desa Adat Belumbang dan LPD Desa Adat Batungsel. Dari Gianyar, ada  LPD Pacung, LPD Suwat, LPD Kerta, LPD Belaluan, terbaru kasus LPD Belusung. Kasus dari Karangasem masuk LPD Desa Pekraman Sega. Sedangkan Klungkung yang sedang dibidik ada kasus LPD Dawan dan LPD Ped dalam pembuktian. Sementara dari Jembrana ada LPD Tuwed dan LPD Taman Sari yang sedang dibidik. Di Denpasar, LPD Desa Adat Serangan yang segera diexpose bersama BPKP.

Baca juga:  9 Pekan Ditemukan, WHO Sebut Omicron Sumbang Kasus Lebih Banyak dari 2020

Dari jumlah perkara tersebut, puluhan orang sudah divonis di PN Pengadilan Tipikor Denpasar.

Ada sejumlah modus yang dilakukan pelaku, sebagaimana fakta persidangan yang terungkap di Pengadilan Tipikor Denpasar. Di antaranya, memainkan kredit fiktif, ada juga pemberian pinjaman tanpa agunan dengan jumlah yang pantastis, dan kredit pinjam nama dengan menggunakan nama nasabah yang sudah lunas, dan pinjaman pihak ketiga.

Banyaknya LPD bermasalah tentu menjadi kekhawatiran banyak pihak. Apalagi mereka punya deposito, namun saat dicairkan kas LPD kosong.

Di ranah hukum, soal LPD memang masih menjadi perdebatan. Banyak yang menyebut masuk ranah pidana korupsi, namun ada pula pakar hukum berpendapat berbeda. Yakni, masalah LPD tidak mesti dibawa ke ranah korupsi, namun bisa diselesaikan di internal LPD itu sendiri.

Miptahul Halis, mantan Hakim Tipikor Denpasar mengatakan, bahwa dalam kasus LPD mesti dilihat dari berbagai sisi. Apakah itu masuk perdata, pidana umum, atau pidana korupsi, harus dilihat kontruksinya.

Selama ini, disebut bahwa dalam LPD ada penyertaan modal dari pemerintah. Namun menurut Miptahul, itu harus dilihat bentuknya, apakah itu hibah, atau dalam bentuk bantuan lain. “Lihat juga apakah itu ada pertanggungjawaban ke pemberi bantuan dalam hal ini pemerintah? Lihat dulu status bantuan, apakah penyertaan modal saja, dalam bentuk bantuan atau hibah. Ini harus jelas. Jika modal awal, pemberi kan  bisa ikut menikmati keuntungan. Apakah keuntungan itu dinikmati pemerintah juga? Ini yang kurang jelas. Sehingga harus dipastikan dulu bentuk bantuan di LPD, sehingga tidak ambigu,” sebut Miptahul.

Baca juga:  Begini Penampakan Ketua Kadin Bali Tiba di Bandara Ngurah Rai

Mantan hakim yang sering menangani korupsi LPD ini menambahkan, semestinya ada hak pemerintah dalam modal itu, namun nyatanya pemerintah tidak pernah menikmati hasil. Untuk itu, lanjut dia, pemerintah bersama Bandesa Adat perlu melakukan intervensi dan pengawasan dalam pengelolaan LPD tersebut, tentunya dengan tata kelola yang baik.

Jika ada persoalan perlu dilakukan penanganan dengan restoratif justice sepanjang ada kesepakatan dan penyelesaian secara kekeluargaan. Namun jika sudah melakukan pelanggaran pidana, entah masuk pidana umum atau pidana korupsi, bisa dilaporkan. “Namun apakah pidum atau pidana korupsi, saya masih ambigu melihatnya. Karena status pemberian modal dari pemerintah kurang jelas,” ucap Miptahul.

Namun demikian, lanjut dia, lembaga adat yang menjadi corong terdepan untuk mencegah terjadinya pelanggaran pidana dalam tubuh LPD. Begitu juga pemda mesti turut melakukan pengawasan.

Sumali, mantan hakim Pengadilan Tipikor lainnya berpendapat dari berbagai aspek hukum, salah satunya adalah Perda Provinsi Bali. Menurut praktisi hukum yang juga sekaligus akademisi ini, Sumali menjelaskan sesuai ketentuan Pasal 19 Ayat 1, 2 dan 4 Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2017, Tentang LPD, di sana menegaskan bahwa Gubernur dan Bupati/Walikota bersama MUDP dan PHDI dapat melakukan pembinaan umum.

Selanjutnya terhadap teknis operasional pembinaan umum dan pengawasan pada level kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati/wali kota. Kata dosen Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Malang itu, dalam bagian penjelasan Pasal 19 Ayat (2) yang dimaksud dengan pengawasan adalah kegiatan evaluasi, verifikasi, review, pemeriksaan dan menyiapkan dana audit. “Jadi berdasarkan redaksi materi perda aquo, bupati/walikota memiliki basis hukum (standi  in judicio) yang kuat untuk melakukan audit terhadap LPD,” ujar mantan hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Denpasar itu. (Miasa/balipost)

BAGIKAN