Oleh I Wayan Suartana
Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan publikasi resmi tentang Indeks Kebahagiaan tahun 2021 berdasarkan hasil Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK). Indeks kebahagiaan Indonesia 2021 mengalami peningkatan dari 70,69 menjadi 71,49. Provinsi Maluku Utara menempati rangking pertama dengan skor 76,34. Provinsi Bali berada pada urutan 24 dengan skor 71,44.
Indeks Kebahagiaan Indonesia merupakan indeks komposit yang dikembangkan dari tiga dimensi yaitu kepuasan hidup, perasaan dan makna hidup. Tiga dimensi tersebut diturunkan lagi menjadi 19 indikator. Dimensi perasaan misalnya; terdiri dari perasaan tidak tertekan, perasaan tidak khawatir/cemas dan perasaan senang/riang/gembira. Dimensi makna hidup terdiri dari indikator kemandirian, penguasaan lingkungan, pengembangan diri, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup dan penerimaan diri. Dimensi kepuasan hidup relatif lebih mengarah ke indikator yang sifatnya fisik.
Ketika kita berbicara pengukuran maka dua hal penting yang harus diperhatikan yaitu validitas dan reliabilitas. Validitas berkaitan dengan mengukur apa yang seharusnya diukur diantaranya ada validitas konten, konstruk dan lainnya. Reliabilitas menunjukkan stabilitas alat ukur tersebut dalam berbagai situasi, matra dan kondisi. Sebelum melakukan survei tentu tahapan-tahapan ini sudah dilakukan agar bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Survei sebagai salah satu teknik pengumpulan data bisa saja memiliki sisi lemah misalnya sensitif terhadap pengambilan dan jumlah sampel.
Toleransi terhadap kesalahan mutlak ada dan dibuat sekecil mungkin. Keterbatasan tersebut wajar terjadi dan pasti akan terus diperbaiki untuk mengembangkan metodologi dan alat ukur yang semakin baik menangkap fenomena yang terjadi. Berbicara hasil ada beberapa faktor yang diduga mempengaruhi salah satunya faktor ekonomi. Provinsi Bali contohnya. Survei dilakukan pada saat pandemi. Sebagai daerah yang ekonominya sangat tergantung dari pariwisata tentu mengalami tekanan ekonomi, psikologis dan pukulan berat. Ekonomi Bali yang sempat minus dua digit masih merayap menuju titik psikologis positif. Karena itu, indikator ekonomi mempengaruhi indikator kebahagiaan terkhusus pada perasaan dan makna hidup.
Stagnasi ekonomi membuat perasaan cemas dan memaknai hidup penuh kepasrahan. Tanpa bermaksud dramatisasi, ada ungkapan yang miris; “kita tidak bertanya besok makan apa tetapi apa besok bisa makan”. Sebaliknya indikator kebahagiaan bisa juga berbalik arah mempengaruhi indikator ekonomi, misalnya keputusasaan, tidak bersemangat dan degradasi antusiasme. Tidak bersemangat akan mempengaruhi produktivitas dan pada akhirnya akan membuat perasaan tidak bahagia. Indeks kebahagiaan ini adalah sinyal yang bukan tidak bisa diobservasi akar penyebabnya.
Mencari akar masalahnya lalu dipetakan dan lahir model yang paling tidak mereduksi sumber-sumber ketidakbahagiaan tersebut. Model akan menjelaskan fakta sudah terjadi sekaligus memprediksi yang bakal terjadi meskipun harus diakui memprediksi saat pandemi bukanlah pekerjaan mudah karena unsur ketidakpastiannya tinggi. Menciptakan atmosfir suasana hati yang tenang adalah tugas kita bersama dan akuntabilitas masing-masing individu. Pemerintah pusat dan daerah telah banyak melakukan upaya memfasilitasi dan membangkitkan asa. Dengan determinasi tinggi seluruh pemangku kepentingan mudah-mudahan indikator ekonomi terus membaik yang pada akhirnya indeks kebahagiaan juga meningkat.
Penulis, Koprodi S-3 Ilmu Akuntansi dan Guru Besar FEB Unud