Oleh I Dewa Gde Satrya
Liburan Natal dan Tahun Baru memberi pelajaran kepada wisatawan dan pelaku usaha pariwisata untuk beradaptasi dengan kebiasaan baru, yang tidak lagi new normal, tetapi next normal. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengampanyekan kesiapan wisatawan dalam berwisata di masa next normal, baik pada saat pre-trip, trip, hingga post-trip. Sebelum berwisata, wisatawan wajib memastikan kondisi kesehatan tubuh sebelum traveling dalam keadaan prima dan memastikan negatif Covid-19 melalui swab atau rapid test.
Pada saat perjalanan, protokol kesehatan harus diterapkan dengan self-discipline, memberi apresiasi kepada penyedia jasa pariwisata yang tersertifikasi CHSE dan cashless dalam melakukan transaksi. Setelah melakukan perjalanan, kondisi kesehatan juga diharapkan prima dan tetap negatif Covid-19 melalui swab atau rapid test.
Strategi lama juga diterapkan oleh Kemenparekraf saat ini dalam mendorong pergerakan wisatawan domestik di dalam negeri, yakni mengintegrasikan paket wisata yang memenuhi permintaan wisatawan yang semakin localize, customize, smaller in size dan personalize dalam melakukan perjalanan wisata antar destinasi. Misalnya, pola perjalanan wisata segitiga emas Joglosemar (Jogja, Solo, Semarang) dengan daya tarik utama Candi Borobudur, Medan dan Danau Toba, juga Bima Raya yang terdiri dari Bali, Bima dan Sumbawa yang berdekatan dengan Labuan Bajo.
Beberapa tahun lalu, travel pattern juga dikembangkan sebagai dasar pembuatan paket wisata untuk mendorong agar wisatawan memiliki alternatif tujuan wisata lain yang baru. Di antaranya, mengembangkan 10 destinasi wisata alternatif untuk melengkapi destinasi favorit yang banyak diminati masyarakat yakni Jakarta, Yogyakarta, Bali, Bandung, Surakarta, Surabaya, Medan, Batam, Padang, Bukittinggi, Makassar, Manado. Kali ini, menyambut next normal, travel pattern diharapkan meningkatkan daya tarik dan nilai jual destinasi dalam suatu paket wisata.
Momentum next normal dengan strategi travel pattern relevan dengan kebijakan insentif dari pemerintah untuk tiket pesawat, yang pernah diterapkan di masa-masa awal pandemi Covid-19 triwulan pertama tahun 2020. Namun, saat itu momen penerapan kebijakan tersebut tidak berhasil karena waktunya tidak tepat.
Saat itu, Budi Karya Sumadi, Menteri Perhubungan, menyatakan, pemerintah memberi insentif Rp 500 miliar untuk diskon tiket pesawat terbang ke 10 destinasi pariwisata dalam negeri: Batam, Denpasar, Yogyakarta, Lombok, Labuan Bajo, Malang, Manado, Silangit, Tanjung Pandan dan Tanjung Pinang.
Tujuannya menggenjot perjalanan wisata dalam negeri, yang diproyeksi sebagai penyelamat industri pariwisata sebagai dampak penurunan kunjungan wisatawan asing. Destinasi yang telah membuka diri dan menerima kembali wisatawan pada masa liburan akhir tahun 2021, telah memfasilitasi wisatawan dengan fasilitas mencuci tangan, sabun atau gel, air bersih dan semprotan disinfektan. Selain itu, disediakan petugas untuk mengecek suhu tubuh, membatasi jumlah dan alur kunjungan wisatawan. Tidak ada tujuan lain selain mempersiapkan diri di peradaban yang telah berubah.
United Nation World Tourism Organization (UNWTO) pada perayaan Hari Pariwisata Sedunia 2016 mengangkat isu “Tourism Promoting Universal Accessibility”. Sekjend PBB, waktu itu Ban Ki-Moon, menegaskan, hak-hak mendasar dalam berwisata di seluruh dunia harus dipastikan terpenuhi bagi tiga kalangan ini: penyandang disabilitas, kalangan lanjut usia (lansia) dan wisatawan keluarga yang membawa anak kecil. Penegasan itu sekaligus menjadi desakan kepada otoritas di Tanah Air, khususnya stakeholder industri pariwisata, untuk mengindahkan aspek infrastruktur agar dapat diakses dan ramah bagi tiga kalangan wisatawan yang perlu mendapat perhatian lebih itu.
Hermawan Kartajaya dan Sapta Nirwandar dalam Tourism Marketing 3.0 (2013) mengidentifikasi kebutuhan wisatawan yang semakin personalize dan localize dengan sebuah era baru di mana teknologi sebagai driver utamanya telah menjadikan dunia yang semakin horizontal. Kemudian, horizontalisasi itu pun masuk ke ranah bisnis dan menjadikan hubungan perusahaan dan pelanggan tak lagi sama. Perubahan terjadi di sisi teknologi, peraturan-peraturan politik, perekonomian, sosial-budaya sampai pada perubahan pasar itu sendiri. Perubahan teknologi dirangsang oleh pertumbuhan konektivitas yang sangat cepat antara people to people, machine to machine dan business to business yang ditandai dengan data-focused development, smart technology.
Dalam konteks Marketing 3.0, melihat manusia (wisatawan) sebagai pribadi yang utuh untuk memenuhi aspek anxiety dan desire. Marketing 3.0 dibutuhkan untuk mengembangkan dunia pariwisata yang saat ini tidak hanya fokus kepada product oriented dan customer oriented namun telah sampai di level tertinggi yaitu human spirit.
Tourism 3.0 merupakan special interest tourism, di mana ketertarikan setiap pribadi untuk mengaktualisasikan diri serta mampu terlibat langsung dalam pencarian nilai-nilai jati diri. Jumlah kunjungan dan frekuensi kedatangan dari jenis tourism ini adalah yang paling kecil (smaller in size) di antara tipe tourism lainnya, namun memiliki rata-rata pengeluaran per kepala. Keterkaitannya dengan next normal, kesiapan penyedia jasa dalam mata rantai industri pariwisata untuk memenuhi anxiety dan desire wisatawan secara tepat akan memenangkan hati wisatawan untuk willingness to pay yang lebih tinggi.
Penulis Dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya