SINGARAJA, BALIPOST.com – Desa Adat Runuh di Kecamatan Buleleng sejak terbentuknya dikenal banyak memiliki warisan seni dan budaya Bali. Kondisi ini menjadikan desa adat ini lebih familiar dengan julukan desa seni di Bali Utara.
Sejalan dengan perkembangan zaman milenial seperti sekarang, pemerintahan desa adat berkomitmen untuk membentengi jangan sampai warisan seni dan budaya Bali itu agar tidak terpengaruh oleh pergaulan bebas. Kebijakan ini pun sejalan dengan kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali di bawah pimpinan Gubernur Wayan Koster yang memberdayakan dan menjaga eksistensi desa adat melalui visi misi Nangun Sat Kerthi Loka Bali (NSKLB).
Penyarikan Desa Adat Runuh Putu Joli Mariada dihubungi Jumat (21/1), menjelaskan, sejak terbentuknya pembagian wewidangan di desa adat memakai istilah tempekan. Ini berbeda dengan desa adat pada umumnya yang membagi wilayahnya dengan banjar adat.
Ada 4 tempekan di Desa Adat Runuh yaitu Tempekan, Kangin, Kaja, Kauh, dan Tempekan Kelod. Di 4 tempekan itu krama desa adat sebanyak 800 kepala keluarga bertempat tinggal.
Seluruh krama desa tersebut kemudian bertangung jawab atas kelangsungan parahyangan, seperti Pura Desa, Pura Dalem Kaja, Pura Dalem Kelod, dan Pura Taman. “Dari zaman pengelingsir kami tidak ada banjar adat dan ditetapkan tempekan dan yang kami warisi di sisi parahyangan di 4 parahyangan itu di mana krama desa bertanggung jawab penuh sebagai pengempon,” katanya.
Menurut Joli, selain menjadi pengempon di sisi parahyangan, kebijakan yang belakangan ini getol digulirkan adalah menjaga kelestarian warisan seni dan budaya. Ini dilakukan karena Desa Adat Runuh dikenal sebagai salah satu desa seni di Gumi Den Bukit.
Sejak dahulu di desa adat ini terdapat sekaa arja, geguntangan, topeng, wayang kulit, dan karawitan. Di samping itu, Desa Adat Runuh dikenal sebagai desa seni joged bungbung. “Banyak kesenian yang kami warisi dan astungkara smapai skearang minat gerenasi muda sangat tinggi untuk belajar berkesenian, sehingga hampir tiap ajang Pesta Kesneian Bali (PKB) anak-anak muda di desa kami banyak yang terlibat langsung,” tegasnya.
Untuk membentengi jangan sampai warisan seni dan budaya tergerus pergaulan bebas seperti sekarang ini, Joli mengaku desa adat berkomitmen penuh menjaga kelestarian warisan seni budaya tersebut. Caranya, menggalakan edukasi dan regenerasi penari dan penabuh.
Upaya ini pun gayung bersambut dengan kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali melalui visi misi NSKLB, sehingga edukasi dan penajringan bibit-bibit penabuh dan penari di desa adat berjalan dengan sangat baik. Tak hanya di kalangan generasi muda, namun hal yang sama dilakukan para krama istri di desa adat.
Dengan membentuk organsiasi dengan julukan paiketan krama istri getol melakukan pembinaan tentang mejejahitan, belajar menari, dan kegiatan pemberdayaan lain. “Sekarang sebagian besar pemuda di desa adat kami bisa menabuh, dan ini terus kami galakkan. Kalau tidak, kahwatir banyak pemuda-pemuda yang melakukan kegiatan negatif akibat pergaulan beba, makanya dengan kebijakan Pak Gubernur juga serius meleindungi seni dan budaya Bali, sehingga kami mendukung penuh kebijakan itu,” jelasnya.
Di sisi lain, program pembangunan di desa adat dengan memanfatakan Bantuan Keuangan Khusus (BKK) Pemprov Bali, Joli menyebut, beberapa pembangunan sudah berhasil dilakukan dengan memanfaatkan bantuan itu. Salah satunya adalah penataan setra di 4 lokasi dengan membangun bale gong dan sekarang berlanjut pembuatan penyengker.
Hal yang sama juga dilakukan di Pura Desa secara bertahap hingga tahun ini. Selain manfaat pembangunan, BKK terbukti meringankan krama desa.
Jika sebelumnya setiap digelar upacara piodalan krama desa dipungut paturunan, namun sejak menerima BKK, desa adat telah menghapuskan kebijakan pungutan tersebut. “Beban krama kami sangat diringankan dengan adanya BKK itu, sehingga NSKLB ini programnya sangat bagus dan wujud komitmen pemerintah menjaga eksistensi desa adat,” tegasnya. (Mudiarta/balipost)