Dr. Yoga Iswara. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Perpindahan dua rangkaian pertemuan G20 yaitu 2nd FCBD dan 1st FMCBG dari Bali ke Jakarta makin memukul para pelaku pariwisata Bali. Ini, makin memperdalam luka masyarakat Bali yang sedang fokus pada pemulihan ekonomi.

Bali sedang terpuruk dan berharap banyak dari pelaksanaan sejumlah kegiatan pra-KTT G20 untuk membantu pemulihan. “Tapi seperti petir di siang bolong ada kabar bahwa dua kegiatan G20 dibatalkan dilaksanakan di Bali,” ujar Dr. Yoga Iswara, Ketua Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) Chapter Bali di Denpasar, Kamis (20/1).

Lebih jauh Yoga menyampaikan Bali sangat merasakan dampak berupa tekanan yang sangat luar biasa akibat pandemi COVID- 19 dalam dua tahun terakhir ini. “Badai pandemi COVID-19 tentu juga dirasakan oleh warga dunia dan saudara-saudara kita di Nusantara ini, namun perahu kami berbeda. Bali sangat tergantung pada sektor kepariwisataan,” ujarnya.

Baca juga:  KPU Terima Berkas Pendaftaran Prabowo-Gibran di Hari Keramat Pemilu

Pandemi, menurut doktor pariwisata tamatan Unud ini, telah merontokan industri kepariwisataan. Pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi Bali terkontraksi 9,31% pada 2020 dan kemudian terkontraksi 9,85% pada 2021 di kuarter pertama.

“Kami bisa menahan perihnya berada di urutan ke-34 secara nasional, namun kondisi yang lebih memprihatinkan ketika sense of emphathy, sense of urgency dan sense of crisis untuk pemulihan Bali tidak kami rasakan serius dari pemangku kebijakan, sehingga berita pemindahan event yang seyogyanya diadakan di Bali seperti luka dalam yang menganga lebar diberikan tetesan jeruk nipis, dan sayangnya hanya kami di Bali yang bisa merasakan hal ini,” ungkapnya.

Yoga Iswara menambahkan mirisnya kondisi Bali dari 14 Oktober 2021 terkait open border karena Bali telah dibuka untuk wisatawan mancanegara, namun terkesan pintunya masih digembok oleh beberapa kebijakan yang menghambat datangnya wisatawan, seperti kebijakan visa, kebijakan penerbangan, kebijakan asuransi, kebijakan karantina dan kebijakan negara yang bisa masuk ke Bali.

Baca juga:  Ibu Bayi Kembar Akhirnya Ditahan

“Nasib yang berbeda dialami oleh saudara kami di Jakarta yang sejak awal pandemi hingga sekarang mendapatkan kesempatan untuk tetap hidup berdampingan dengan COVID-19 dengan mengelola aspek ekonomi dan aspek kesehatan dengan baik dan seimbang serta menerapkan risiko manajemen yang aman dan terukur, karena semua pesawat mendarat di Jakarta yang menyebabkan hotel karantina di Jakarta selalu penuh dengan harga fantastis,” ungkapnya.

Alasan dipindahkan event 2nd FCBD dan 1st FMCBG dinilainya tidak masuk logika, karena Jakarta memiliki kasus Omicron tertinggi secara nasional. Seyogyanya setiap event, baik virtual dan hybrid tetap didorong untuk dilaksanakan di Bali yang sudah berhasil sukses menerapkan adaptasi new normal.

Diantaranya, program vaksinasi yang sudah mencapai di atas 95% untuk tahap 2, sertifikasi CHSE sudah mencapai 2.357 industri, kedisiplinan masyarakat Bali terkait prokes tertinggi secara nasional, dan penanganan COVID-19 di Bali terkendali. Sehingga Bali pantas memiliki kesempatan untuk bernafas, untuk bangkit dan tumbuh, minimal menjaga aspek psikis masyarakat Bali yang sedang berdarah darah.

Baca juga:  Diterapkan Mulai 1 Juli, Penerapan Tiket Retribusi Snorkeling di Nusa Penida Tuai Pro Kontra

“Apakah tidak sebaiknya kebijakan penerbangan dan kebijakan karantina di fleksibelkan segera untuk Bali, sehingga para delegasi dapat mendarat dan karantina langsung di Bali dan sekaligus menunjukan keseriusan pemerintah dalam melakukan recovery untuk Bali,” pungkasnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN