DENPASAR, BALIPOST.com – Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Denpasar, dr. Ketut Widiyasa, Senin (24/1) mengatakan, jika beberapa negara menyatakan COVID-19 sebagai endemi, itu adalah sebuah keputusan yang dibuat berdasarkan hasil riset kesimpulan para ilmuwan mereka. Mereka melihat tingkat fatalitas dari COVID-19 ini dirasa cenderung menurun.
Di Indonesia, ia menilai penetapan endemi perlu didukung data. Faktanya, pemerintah Indonesia masih memperpanjang status pandemi. “Artinya secara normatif, secara hukum, pemerintah kita masih menyatakan Indonesia dalam status pandemi, dan dengan ditetapkannya status pandemi maka segenap upaya bersama untuk melakukan pencegahan transmisi di masa pandemi tetap menjadi kewajiban untuk semua warga,” jelasnya.
Sampai saat ini, ia melihat belum ada data yang mapan, terutama pada kasus varian Omicron. Data yang tampak saat ini, sebelum Omicron masuk dan merebak, kasus bisa dikatakan terkendali namun setelah adanya varian baru itu terjadi peningkatan kasus. “Sehingga kita belum berani memastikan apakah akan menjadi endemi, karena kita belum melihat tingkat fatalitas atau tingkat kematian, serta tingkat hunian atau perawatan pasien-pasien COVID-19 di RS saat ini,” ujarnya.
IDI berharap ada upaya untuk melokalisasi pasien untuk karantina terpusat agar pengawasan lebih bagus. Selain itu, perlu diperhatikan tingkat hunian RS, karena jika pasien masuk RS berarti derajat fatalitasnya sudah berat.
Jika data dari ketiga indikator itu menunjukkan tanda yang baik, yaitu transmisi rendah, fatalitas rendah, dan tingkat hunian RS rendah, kondisi ini diharapkan menjadi catatan bagi pemerintah untuk mencabut status pandemi dan masuk ke fase endemi.
“Jadi kita perlu elaborasi data dulu sebelum kita memberikan statemen yang pasti, termasuk tentang dampak Omicron lebih ringan dari Delta, kita belum punya data yang lengkap. Tapi dari pendapat ahli yang mengatakan tingkat fatalitas tidak separah Delta, jangan sampai membuat kita lengah. Saya khawatir kalau lengah hingga tidak melakukan protokol kesehatan, maka dampaknya bisa fatal,” paparnya. (Citta Maya/balipost)