Suasana rapat kerja antara Komisi III dengan jajaran Dinas Perkim, Selasa (25/1). (BP/ara)

DENPASAR, BALIPOST.com – Program perbaikan rumah tidak layak huni (bedah rumah) yang dilakukan Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (Perkim) Denpasar, dipastikan tahun ini kembali berlanjut. Bahkan, besaran anggaran bedah rumah per unit mengalami peningkatan. Bila sebelumnya dianggarkan Rp 30 juta, kini menjadi Rp 75 juta per unit.

Hal ini mengemuka dalam rapat kerja antara Komisi III dengan jajaran Dinas Perkim, Selasa (25/1). Rapat kerja yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Wayan Mariyana Wandira didampingi Ketua Komisi III Eko Supriadi, dihadiri Sekretaris Dinas Perkim, Agus Prihantara berserta beberapa kabidnya.

Baca juga:  Harian Kasus Covid-19 di India Meningkat Tajam

Agus Prihantara mengatakan, pada tahun ini Dinas Perkim kembali akan melakukan program perbaikan rumah tidak layak huni. Besaran anggaran yang sudah diplot meningkat dibandingkan tahun lalu yang hanya Rp 30 juta per unit. Saat ini menjadi Rp 75 juta per unit.

Selain itu, tahun ini Dinas Perkim juga melakukan penataan kawasan permukiman kumuh. Hanya penataan ini yang luasannya dibawah 10 hektar. Rencananya, penataan ini akan dilakukan di dekat TPA Suwung.

Baca juga:  Tabanan Turunkan Target di Porprov Bali 2022

Terhadap program ini, sejumlah anggota Komisi III menyambut baik. Karena masih banyak rumah di Denpasar yang perlu mendapat perhatian untuk diperbaiki. Hanya saja, proses perbaikan di lapangan perlu dilakukan pengawasan agar jangan sampai hasil perbaikan justru akan menyusahkan pemilik rumah. “Mohon rekanan yang mengerjakan agar diawasi. Karena selama ini ada laporan dari warga, rumah yang diperbaiki justru tidak bisa ditempati,” ujar anggota Komisi III, I.B. Ketut Wirajaya.

Baca juga:  Tri Nugraha Sudah 2 Bulan Meninggal, Nasib Barang Bukti Sitaan Mobil Mewah dan Tanah Belum Ada Kejelasan

Selain itu, syarat untuk mendapat bedah rumah juga perlu dievaluasi. Karena salah satu syarat untuk mendapat bedah rumah ini, yakni memiliki lahan sendiri. Kondisi ini menjadi tidak relevan dengan program ini, yakni membantu yang miskin. “Bagaimana bisa dibilang miskin, kalau mereka harus memiliki lahan sendiri. Bayangkan, lahan satu are saja di Denpasar nilainya cukup tinggi. Kan tidak mungkin bisa disebut miskin,” ujar anggota lainnya, A.A. Susruta Ngurah Putra. (Asmara Putera/balipost)

BAGIKAN