JAKARTA, BALIPOST.com – Indonesia tidak ingin lagi menjadi “feeder” atau pengumpan angkutan laut dan harus memikul biaya logistik yang tinggi. Hal itu dikatakan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, dalam Webinar IATI-KORIKA terkait smart maritime and smart agriculture secara daring di Jakarta, dikutip dari Kantor berita Antara, Rabu (26/1).
Oleh karena itu, Indonesia akan terus mengoptimalkan penerapan tata kelola ruang kepelabuhan serta distribusi dalam satu sistem melalui Indonesia National Single Window (INSW). “Jadi jangan jadi feeder kita ke negara lain. Kita harus bisa langsung direct call. Karena selama ini kita jadi feeder itu cost (biaya) kita naik. Jadi sekarang kita bikin, masuk ke dalam National Single Window itu, digitalized (terdigitalisasi), maka kita akan menghemat 30 persen,” katanya.
Luhut menjelaskan, saat ini Indonesia melayani arus peti kemas hingga hampir 18 juta TEUs per tahun. Sayangnya, rata-rata Indonesia hanya jadi pengumpan ke negara tetangga.
Terlebih Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor komoditas. “Untuk sekadar diketahui, kita ini dari Indonesia hampir 18 juta TEUs setahun, mungkin lebih sekarang. Itu rata-rata kita jadi feeder saja pada negara tetangga. Negara tetangga menikmati, cost kita naik,” katanya.
Luhut pun menegaskan Indonesia kini tak ingin mengulangi kesalahan serupa. Indonesia pun saat ini tengah gencar mendorong hilirisasi dan efisiensi di pelabuhan.
Semua upaya itu diharapkan mampu memberikan nilai tambah bagi ekonomi Indonesia. “Sekarang nggak mau, kita mau sekarang direct call saja ke final destination (tujuan akhir) , itu akan mengubah Indonesia lagi ke depan,” katanya. (kmb/balipost)