Wayan Edi Artha. (BP/kmb)

GIANYAR, BALIPOST.com – Setelah pemerintah memberikan keleluasaan terhadap desa adat untuk mengelola potensi desanya, kini Desa Adat Madangan Kaja menggarap potensi desa yang ada. Sedikitnya ada tiga sektor kini sedang digarap dan dikembangkan. Tiga sektor itu Bage Usaha Padruwen Desa Adat (Bupda) berupa air minum, pengelolaan wisata religi dan kerajinan ukiran kayu.

Bendesa Desa Adat Madangan Kaja, Wayan Edi Artha didampingi Ketua Bupda Air Minum Tirtha Gunung
Mertha, Pande Komang Ariadi menjelaskan awalnya desa adat kesulitan mendapat air bersih, sehingga warga berinisiatif untuk mengangkat sumber mata air Tirta Gunung Mertha menjadi sumber air minum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Bupda air minum dimulai tahun 2015 adanya Program
Siaga Desa Swatanta (PSDS) dengan bantuan dana sebesar Rp 228 juta. Bantuan ini dimanfaatkan secara swadaya untuk membangun jaringan air minum berupa dua bak penampungan dan mesin mengangkat dari mata air dekat sungai.

Baca juga:  Desa Adat Besakih Miliki Tradisi Tak Boleh Bakar Mayat

Untuk mengangkat air menggunakan mesin tenaga listrik. Saat itu, program hanya mampu membuat dua bak penampungan, jaringan listrik, menaikkan air dan air minum hingga dibak penampungan dekat jalan raya. Bahkan air minum belum masuk ke masing-masing rumah (SR).

Kemudian ada bantuan kedua berupa dana alokasi khusus (DAK) dari PUPR sebesar Rp 400 juta. Dana bantuan ini dialokasikan untuk jaringan air minum masuk rumah warga.

Hingga 2021 pelanggan sudah 143 sambungan rumah (SR). Hingga kini sudah ada pemasukan dari Bupda air minum Rp 6 juta per bulan dikurangi biaya operasi pemakaian listrik mencapai Rp 2 juta dengan empat
orang tenaga kerja.

Ke depan berencana akan memperluas jaringan melayani pelanggan warga Desa Petak terdiri dari enam banjar dinas dan lima banjar adat. Untuk memenuhi kebutuhan ini tentu diperlukan peningkatan debit air dengan penambahan jaringan.

Baca juga:  Permintaan Produk Kopi Mulai Meningkat, Enam BUMDes Ini akan Diaktifkan

Selain melayani pelanggan ke masing-masing rumah, Bupda ini juga menyediakan kran di pinggir jalan depan Pura Gunung Mertha. Di sana disediakan
kotak dana punia. Warga yang mengambil air minum dari luar Desa Adat Madangan Kaja menggunakan galon diminta membayar punia.

Dalam sebulan kotak punia ini berisi Rp 1,8 juta hingga Rp 2 juta. Sehingga dana punia ini bisa untuk membayar listrik Bupda per bulannya mencapai Rp 2 juta.

Selain itu, kini Desa adat Madangan Kaja sedang menggarap sektor pariwisata dengan memperdayakan potensi desa yang ada. Sektor pariwisata yang digarap yakni religi dengan memanfaatkan sejumlah sumber mata air yang ada di desa adat setempat.

Dengan garapan pokdarwis di bawah pimpinan Pande Komang Ariadi ini, wisatawan akan diajak trekking awalnya turun di Puskesmas Gianyar II dengan menelusuri Sungai Cangkir dari selatan hingga utara.
Ke depan dalam skala besar, bila kondisi Covid-19 sudah pulih kunjungan wisatawan sudah meningkat wisatawan akan diajak trekking mengelilingi Desa Petak dengan menggunakan sepeda gayung.

Baca juga:  Desa Adat Batuan Gelar Karya "Rsi Yadnya"

“Warga sekarang ini hampir 90 persen menekuni kerajinan ukiran kayu, baik itu untuk palinggih, bangunan rumah stil Bali, pembangunan vila dan bangunan hotel,” katanya.

Bahkan dulu waktu pembangunan Taman Mini Indonesia Indah tenaga tukang ukir dari Desa Adat Madangan Kaja. Karya seni ukir warga Desa Madangan Kaja, selain dijual di Gianyar, juga di luar Gianyar, luar Bali bahkan luar negeri. Edi Artha mengaku dirinya hingga kini masih melayani ekspor ukiran gaya Madangan ke Eropa. (kmb/balipost)

BAGIKAN