TABANAN, BALIPOST.com – Meski usia tidak lagi muda, semangat pasangan suami istri Ni Nyoman Tanik (72) bersama dengan I Ketut Sutarma (74) tak surut. Mereka masih berjualan Laklak pisang (laklak biu) atau lebih dikenal dengan “Laklak Biu Men Bayu” untuk melestarikan kuliner khas Bali ini.
Digemari karena citarasanya yang khas, warung sederhana yang berlokasi di Banjar Penebel Baleran, Desa Penebel, Kecamatan Penebel, Tabanan itu, kini menjadi salah satu ikon kuliner Penebel. Tidak saja digemari warga lokal Penebel namun juga diburu para pelanggannya dari luar Penebel bahkan pelanggan luar Tabanan.
Laklak Men Bayu berbeda dengan laklak pada umumnya. Laklaknya tipis seperti crepes dengan rasa gurih dan berisi pisang dan kelapa yang diparut. Proses pembuatan laklak biu Men Bayu masih sangat sederhana, memanfaatkan alas yang terbuat dari tanah liat. Tungku yang digunakan untuk proses pembuatan laklak juga berupa tungku kayu.
Tanik atau lebih dikenal dengan panggilan Men Bayu sengaja tidak menggunakan kompor gas karena tungku kayu akan membuat laklak biu buatannya jadi lebih enak. Saat berjualan Men Bayu beserta suaminya kerap memberikan pelayanan ramah yang membuat para pengunjung betah berlama-lama.
Buka mulai pukul 07.00 WITA sampai pukul 19.00 WITA, tangan tua mereka masih sangat cekatan dalam menyajikan pesanan pelanggan. Tidak hanya rasa orisinal, ada juga varian laklak dengan berbagai pilihan topping kekinian. Seperti cokelat ataupun keju.
Dengan pilihan menu yang sangat beragam tersebut, laklak di tempat ini menjadi opsi kuliner yang menarik.
Men Bayu menceritakan, jika dirinya memulai usaha membuat laklak biu di 2009. Saat itu ia hanya berjualan di emper jalan.
Tak hanya dirinya, saat itu setidaknya ada sekitar 12 pedagang laklak di wilayah Penebel. “Saat itu ada ajakan dari Dinas Koperasi dan UMKM Tabanan agar ikut meramaikan Hut Kota Tabanan dan jualan di Gedung Mario. Sempet grogi juga, tapi Astungkara justru mulai dari sana jadi berkah, laklak mbah mulai banyak dikenal bahkan selesai jualan di sana pelanggan banyak beli di warung,” ucapnya.
Tak hanya itu saja, di 2017, ia bersama dengan pejabat Tabanan mulai dari Kepala Dinas Koperasi yang saat itu Anak Agung Tresna Dalem, sempat mempromosikan Laklak Biu Men Bayu ke Jakarta selama tiga hari. “Di Hut Kota Tabanan, Jakarta dan pernah juga diundang pada festival di Danau Beratan dulu,” lanjutnya.
Melalui usaha kulinernya ini, tak hanya melestarikan citarasa khas Bali, ia juga bisa menghidupi keluarga. Hanya di masa pandemi saat ini, tingkat daya beli mengalami penurun. “Sebelum pandemi sampai tidak sempat istirahat makan karena pelanggan datang nyambung terus. Sekarang masih ada juga yang datang membeli tetapi tidak seramai dulu, Astungkara masih bisa untuk kebutuhan dapur,” terangnya.
Di masa tuanya, keahlian membuat laklak juga telah diteruskan ke anak maupun cucunya. Karena ia tidak ingin kuliner tradisional dengan cita rasa khasnya yang sudah menjadi icon Penebel hilang begitu saja. “Secara ekonomi sangat membantu sekali, anak-anak dan cucu juga sudah ikut mulai belajar membuat laklak. Dan laklak ini keistimewaannya dibuat tanpa gula, manisnya ini muncul dari rasa pisang, termasuk tepung yang digunakan juga dibuat dengan komposisi sendiri,” pungkasnya. (Puspawati/balipost)