Desa Adat Pecatu, Kuta Selatan, Badung, menggelar upacara Tumpek Uye di objek wisata kawasan Pura Uluwatu, Sabtu (29/1). (BP/edi)

MANGUPURA, BALIPOST.com – Perayaan Tumpek Kandang atau sering disebut dengan Tumpek Uye, sebagai perwujudan kasih kepada hewan yang rutin dilaksanakan umat Hindu di Bali. Dilaksanakan setiap enam bulan sekali pada Sabtu, Kliwon, Wuku Uye menurut kalender Bali ini memiliki makna harmonisasi alam sebagai implementasi konsep Tri Hita Karana.

Sebagai wujud harmonisasi, Desa Adat Pecatu, Kuta Selatan, Badung, menggelar upacara Tumpek Uye di objek wisata kawasan Pura Uluwatu, Sabtu (29/1). Dalam upacara ini, dua gebogan buah segar diberikan kepada kawanan monyet yang ada di kawasan tersebut. Ini juga kegiatan budaya tentang keagamaan sebagai daya dukung atau daya tarik objek wisata.

Menurut Bandesa Adat Pecatu, I Made Sumerta, Tumpek Uye ini sudah rutin dilaksanakan setiap enam bulan sekali. “Apalagi dengan adanya instruksi Gubernur Bali No. 1 Tahun 2022 terkait dengan Danu Kerthi dan Tumpek Uye. Kita serentak melaksanakannya di Pecatu dengan melibatkan di- nas dan desa adat.

Baca juga:  Ringankan Beban Krama, Banjar Bun Gelar Atma Wedana dan Metatah Massal

Seperti kegiatan pembersihan sampah di muara sungai atau loloan Dreamland dan di Beji Desa Pecatu serta aliran sungai,” katanya.

Untuk puncaknya digelar di kawasan Pura Uluwatu dengan upacara untuk kawanan monyet yang ada di wilayah hutan wilayah Uluwatu, mengingat di sini ada banyak monyet. Eelain itu, juga dilaksanakan pelepasan sebanyak 100 perkutut, kutilang dan derkuku.

Mengingat, kawasan ini dulunya merupakan habitat dari perkutut. Pihaknya berharap akan terjadi harmonisasi serta ke depan alam biasa terjaga dengan baik. “Kawasan Desa Pecatu yang terkenal dengan burung perkutut, ke depannya
akan terus dijaga supaya semua mahluk hidup berbahagia,” ucapnya.

Baca juga:  All New Honda Vario 150 dan 125 Dihadirkan di Bali

Sementara Manager Pengelola Objek Wisata Kawasan
Luar Pura Uluwatu, I Wayan Wijana keberadaan objek
wisata kawasan luar Pura Uluwatu berhubungan dengan budaya dan lingkungan. Sehingga dengan adanya konsep Tri Hita Karana, sangat cocok dalam kehidupan sehari-hari.

Diakui hubungan inilah yang diambil hikmanya dengan berterimakasih dan menghargai atas ciptaan Tuhan. Kemudian hubungan manusia dengan lingkungan, kebetulan di objek wisata Uluwatu ini terdapat
monyet yang menjadi salah satu daya tarik.

Dengan demikian pihaknya memberikan penghargaan kepada monyet tersebut. Sebaliknya untuk hubungan manusia dengan manusia, Wijana mengaku selalu menjaga hubungan dengan sesama baik itu pekerja maupun pengunjung. “Kita menghormati anuerah ciptaan Tuhan secara harmonis. Sehingga dengan keberadaan monyet itu, ada kehidupan harmonis,” kata Wijana.

Baca juga:  Tumpek Uye Bentuk “Sradha” kepada Hyang Widi dan Sayangi Binatang

Masih menurut dia, dalam upacara Tumpek Uye itu pihaknya menyediakan dua gebongan buah-buahan segar yang diberikan kepada kawanan monyet yang hidup dan sudah menjadi bagian di Uluwatu. Bahkan Tumpek Uye dijadikan salah satu potensi kegiatan
budaya tentang keagamaan sebagai daya dukung atau daya tarik obyek wisata itu sendiri. “Ini adalah aset kita yang harus dilestarikan sebagai dasar
dalam memanfaatkan konsep pariwisata budaya,” tandas Wijana.

Panglingsir Puri Agung Jro Kuta selaku Pangempon Pura Uluwatu, AA Ngurah Jaka Pratidnya menerangkan kegiatan ini merupakan kegiatan rutin dari dulu dan bentuk harmonisasi Tri Hita Karana. Di mana, konsep hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam dan manusia dengan manusia. (Yudi Karnaedi/balipost)

BAGIKAN