Nyoman Yeti Supartmi memperlihatkan piagam Bali Brand yang diterimanya. (BP/mud)

SINGARAJA, BALIPOST.com – Desa Pengelatan di Kecamatan Buleleng dikenal sebagai sentra pangan lokal Bali. Salah satunya adalah dodol yang merupakan panganan khas yang digunakan saat upacara keagamaan.

Dodol hingga kini masih digemari oleh konsumen karena rasanya dan bebas dari bahan pengawet serta pewarna kimia. Salah satu penekun pembuatan dodol khas Desa Pengelatan adalah Nyoman Yeti Supartmi.

Yeti sendiri mulai terjun membuat dodol setelah pensiun bekerja sebagai karyawan hotel pada 2015. Ketertarikannya membuat dodol setelah kondisi orangtuanya, Nengah Sumanti tidak maksimal membuat dodol karena telah usia lanjut.

Tidak ingin usaha dodol yang dirintis orangtuanya itu tak berlanjut, Yeti mengambilh usaha keluarga tersebut sampai sekarang. “Waktu dulu saya kerja di hotel bersama suami, ibu yang membuat dan kalau libur ikut belajar membuat. Sekarang ibu sudah tua dan kebetulan saya sudah pensiun, saya lanjutkan usaha ini dan sedikit saya kembangkan dengan model bisnis kekinian, Astungkara dodol buatan dari ibu saya ini sekarang tetap dicintai oleh para pelanggan setia,” katanya.

Baca juga:  Kelompok Baja Tani Kembangkan Pertanian Organik, Edukasi Generasi Muda Mau Bertani

Menurut Yeti, ada empat jenis dodol yang diproduksinya. Yaitu merah, hijau, hitam, dan coklat. Ia juga memproduksi kue iwel dan satuh dengan varian rasa, seperti ketan dan kacang hijau. Bahkan, saat ini produknya ditambah dengan membuat kue pepelan dan rengginang.

 

 

Yeti mengaku belakangan ini muncul permintaan dodol dari umat Tionghoa untuk digunakan saat Imlek. Ia juga menerima pesanan untuk membuat kue keranjang yang isinya diganti dengan dodol. “Kalau yang paling banyak dicari jelas dodol, apalagi ketika Galungan dan Kuningan itu permintaan antara 4 sampai 5 ton. Kemudian ada juga satuh kemudian kue iwel mulai banyak dipesan. Dan ini terbaru saya dapat pesanan dan mencoba membuat kue keranjang yang banyak disajikan saat Hari Imlek dengan isian dodol,” jelasnya.

Baca juga:  Gubernur Serahkan 1.500 Paket Sembako di Bondalem

Yeti terus berusaha menjaga keunggulan dodol yang diwariskan oleh orangtua kandungnya. Keunggulan itu terletak pada cita rasa hingga mampu bertahan 2 minggu hingga paling lama 1 bulan. Ini dengan catatan disimpan dalam suhu panas cukup, sehingga dodol tidak mudah berjamur.

Pemilihan bahan baku dan tanpa memakai bahan perwana kimia juga menjadikan dodol produksinya diminati. Ia menggunakan pewarna alami seperti ketan hitam (injin) untuk dodol warna hitam, campuran daun pandan dan daun kayu sugih untuk warna hijau, untuk pewarna coklat di dodol kacang, ia memakai kacang tanah yang ditumbuk. “Dari dulu keungulan dari rasa enak, kenyal, dan tidak mudah berjamur. Kami jaga betul kualitas ini dengan tetap memakai pewarna alami dan tidak sedikitpun pakai bahan tambahan kimia, sehingga berkat dorongan pemerintah daerah juga, dodol kami ini sudah bersertifikat halal,” katanya.

Baca juga:  Entil Sanda, Kuliner Khas Pupuan Sarat Makna Filosofis

Disinggung obsesi ke depannya, Yeti mengatakan pihaknya akan fokus dalam pemasaran produk yang lebih luas. Saat ini pemasaran selain di Buleleng, sudah merambah ke Gianyar, Denpasar, dan beberapa daerah lain di Bali.

Bahkan, sebelum pandemi COVID-19 melanda, Dodol Khas Pengelatan ini menghiasi etalase penjualan pusat oleh-oleh khas Bali. Untuk itu, dirinya sangat berterima kasih atas perhatian pemerintah, termasuk dukungan dari Kelompok Media Bali Post (KMB) yang telah memberi Bali Brand 2021.

Dengan bentuk pengakuan seperti ini, Yeti yakin produk lokal Bali ini akan semakin eksis. tidak saja dijadikan bahan perlengkapan ketika upacara agama saja, namun dipilih sebagai produk buah tangan dari wisatawan yang berkunjung ke Buleleng. (Mudiarta/balipost)

BAGIKAN