DENPASAR, BALIPOST.com – Kasus COVID-19 Bali dalam sepekan terakhir, 25 Januari hingga 1 Februari melonjak signifikan. Jumlahnya mencapai ribuan, yakni sebanyak 2.451 orang.
Dari data Satgas Penanganan COVID-19 Bali, pada 25 Januari terdapat 96 kasus baru, 26 Januari mencapai 139 kasus baru, 27 Januari sebanyak 212 kasus baru, 28 Januari sebanyak 311 kasus baru, 29 Januari mencapai 325 kasus baru, 30 Januari terdapat 359 kasus baru, 31 Januari ada tambahan 294 kasus, dan 1 Februari tertinggi dengan jumlah 715 kasus baru.
Diduga lonjakan kasus hingga ribuan dalam sepekan ini dikarenakan Omicron sudah ada di Bali. Hal tersebut sempat diucapkan Gubernur Bali Wayan Koster dalam suatu rapat persiapan Bali menjadi tuan rumah pertemuan Global Platform Disaster Risk Reduction (GPDRR) 2022 belum lama ini.
Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Bali Made Rentin yang turut hadir dalam rapat itu mengatakan bahwa memang benar apa yang disampaikan Gubernur Koster itu. Menurutnya, dugaan telah masuknya varian Omicron dilihat dari tingkat penularan covid-19 di Pulau Dewata yang belakangan ini cukup pesat. “Untuk memastikan itu, kami di Dinas Kesehatan (Diskes) tentu tidak bisa berdiri sendiri. Di satu sisi, kami tidak punya kompetensi di bidang itu, di sisi lain alat lab kami belum menunjang pemeriksaan Omicron,” terang Rentin, Senin (31/1).
Plt.Kadiskes Provinsi Bali ini menyebut alat pendeteksi Omicron yakni whole genome sequencing (WGS) saat ini baru dimiliki oleh Litbang Kementerian Kesehatan (Litbangkemenkes). Bali hanya mampu melakukan tes PCR biasa. “Namun ada tes PCR lanjutan yang bernama SGTF, dan kita bisa lakukan itu. Ketika SGTF sudah positif, indikasi mengarah ke Omicron sudah ada. Cuma untuk memastikan, sampelnya tetap kami kirim ke Litbang Kementerian Kesehatan,” sambungnya.
Ditanya tentang kehadiran Omicron di Bali, Rentin mengatakan secara kasat mata merupakan suatu keyakinan bahwa kasus-kasus terakhir yang tersebar di Pulau Dewata merupakan varian Omicron. Di tengah peningkatan kasus covid- 19 belakangan ini, Rentin menerangkan bahwa keparahannya relatif rendah. Hal itu ditandai dengan keterisian kamar dan tempat tidur di rumah sakit (RS) rujukan yang hanya 13,8 persen pasien dari total tambahan kasus yang dirujuk ke RS.
Sementara itu, 14 persen dari jumlah pasien tersebut menjalani isolasi terpusat (isoter) karena tergolong tanpa gejala. “Jadi tingkat keterisian di RS rujukan sementara ini masih rendah, dan kita syukuri,” pungkas Rentin. (kmb/balipost)