Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Warganet di Indonesia belakangan ini dihebohkan oleh hiruk pikuk penjualan produk berformat Non-fungible Token (NFT) di platform marketplace digital. NFT sendiri sesungguhnya bukan produk digital yang baru, karena NFT digunakan pertama kali pada sebuah game blockchain bernama Crypto Kitties pada Oktober 2017.

Kehebohan ini utamanya dipicu oleh keberhasilan Sultan Gustaf Al Ghozali yang sukses meraup keuntungan hingga Rp 1,7 miliar dalam bentuk ethereum, dari penjualan produk NFT melalui situs OpenSea. Ghozali menjual koleksi 933 buah swafoto
dirinya bertajuk Ghozali Everyday; yang dibuatnya setiap hari dalam rentang waktu lima tahun.

Sebenarnya sudah banyak pihak yang memanfaatkan format NFT dalam menjualnproduk digitalnya. Gucci sebagai jenama (brand) fesyen berkelas dunia telah menggunakan NFT dalam koleksi pakaiannya. Penyanyi Syahrini juga sukses mengeluarkan NFT berhijab, karya seni berbentuk avatar dirinya pada 14 Desember 2021 yang ludes dalam hitungan jam.

Baca juga:  GameFi dan NFT: Proyek Apa yang akan Menggebrak Industri di 2022

Sehingga tidak salah jika monumen “Sita Kepandung” yang rencananya dibangun di simpang enam Kota Denpasar, akan memanfaatkan teknologi blokchain dengan mekanisme NFT dalam bentuk penerbitan
sertifikat berjumlah terbatas; bagi para kolaborator ide gagasan maupun donatur keuangannya (Bali Post, 17/1/2022).

NFT sebagai produk digital dapat memacu partisipasi warga masyarakat untuk terlibat dalam mewujudkan monumen “Sita Kepandung”. Hal ini mengingat sertifikat NFT tersebut juga memiliki nilai ekonomi,
karena nantinya dapat diperjualkan kembali di berbagai platform marketplace metaverse.

Tentu ada potensi keuntungan finansial di sana.
Mekanisme upaya mengundang peran serta masyarakat dalam menata landmark (penanda kota) melalui sertifikat digital NFT ini perlu terus dikembangkan.

Karena akan ada kebanggaan bagi para pemegang
sertifikat NFT landmark suatu kota tersebut. Demikian juga dengan berbagai prasarana kota yang ikonik.

Baca juga:  Optimisme Holding BUMN Pariwisata

Menata ruang kota memang memerlukan kearifan semua pihak stakeholders kota, agar tata ruang kota yang nanti dihasilkan sesuai kebutuhan seluruh warga kotanya. Kesuksesan produk sertifikat digital NFT atas berbagai prasarana kota, akan menggambarkan seberapa kepedulian dan kebanggaan warga kota atas tata ruang lingkungan kehidupannya.

Bali sebagai sebuah entitas masyarakat dengan kekentalan budayanya, sudah selayaknya memiliki dasar penataan ruang yang sesuai dengan jati diri budayanya. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 3
Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan atas Perda Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 – 2029.

Penataan ruang kota/wilayah Bali banyak berdasar konsep filosofi Deva Raja. Filosofi ini termanifestasi pada prasarana kota Catus Patha sebagai titik pusat kota, dengan keberadaan Puri, Wantilan/bale banjar,
pasar/peken, dan alun-alun/bencingah.

Baca juga:  Lansia Belum Tentu Tidak Bahagia

Prasarana kota ini dapat dibuat sertifikat NFT digitalnya, guna mengundang partisipasi warga kotanya. Bagaimanapun, penataan ruang di Bali
harus dilakukan sebagai satu kesatuan perencanaan sebagaimana digarisbawahi pakar tata ruang sekaligus guru besar Fakultas Teknik Udayana Prof. Dr. Ir. Putu Rumawan Salain, M.Si. (Bali Post, 21/5/2021).

Hal ini mengingat pengelolaan pembangunan melalui otonomi daerah yang diletakkan di Kabupaten/Kota.
Jejak penataan ruang kota yang kental nuansa budaya masih banyak kita temui pada kawasan kota lama di Pulau Dewata ini. Saat ini penataan ruang di Pulau Bali harus tetap berbasis pada konsep budaya yang kuat, namun sesuai konteks teknologi masa kini agar terwujud kesejahteraan warga masyarakatnya.

Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN