Keyza Widiatmika. (BP/Istimewa)

Oleh Keyza Widiatmika

Meledaknya kembang api sebagai tanda tahun telah berganti senada dengan semaraknya siswa saat tahu
bahwa sebentar lagi mereka akan jumpa teman sekelasnya. Lewat SKB Mendikbudristek, Menag, Menkes, dan Mendagri Nomor 05/KB/2021, Nomor 1347 Tahun 2021, Nomor HK.01.08/ MENKES/6678/2021, serta Nomor 443-5847 Tahun 2021, pemerintah tegas sampaikan di semester baru, sekolah diberi lampu hijau menyelenggarakan pembelajaran tatap muka berkapasitas 100 persen dengan syarat-syarat tertentu.

Keputusan itu layaknya kompas di tengah keputusasaan banyak pendidik yang hilang arah oleh degradasi capaian belajar peserta didik. Dalam triwulan pertama sejak dilaksanakannya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) saja, sudah muncul satu demi satu perkara yang mendukung degradasi tersebut. Hal paling nyata adalah pada kesenjangan digital.

PJJ jelas menuntut proses belajar-mengajar dilakukan dalam naungan internet. Sementara itu, akses terhadap internet tak sepenuhnya dapat dijangkau oleh para pelajar Indonesia. Belum lagi perihal keterbatasan pendidik untuk beradaptasi menggunakan fitur-fitur dalam teknologi komunikasi.

Peneliti van Dijk dan van Deursen menyebutkan terdapat enam keterampilan yang harus dikuasai seiring teknologi yang progresif: operasional, formal, informasi, komunikasi, pembuatan konten, dan strategis. Sebelum melangkah lebih jauh pada tahap strategis dalam menggunakan media digital untuk tujuan profesional, kesenjangan PJJ di Indonesia sudah nampak sejak tahap operasional antara guru dan siswa.

Baca juga:  Pancasila, Riwayatnya Nanti

Alih-alih belajar dari rumah, para siswa terdesak untuk mengalihkan prioritas mereka ketimbang belajar secara daring. Mereka memilih untuk membantu usaha dagang orang tua yang terhimpit akibat pandemi.

Maka dari itu, diizinkannya melakukan pembelajaran tatap muka (PTM) jadi angin segar bagi institusi pendidikan. Dalam dokumen Penyesuaian SKB Empat Menteri Baru yang beredar secara digital, tertulis jelas kalimat pembuka begini: “Mulai Januari 2022, semua satuan pendidikan pada level 1, 2, dan 3 PPKM wajib melaksanakan PTM terbatas. Pemda tidak boleh melarang PTM terbatas bagi yang memenuhi kriteria dan tidak boleh menambahkan kriteria yang lebih berat”.

Senyum di wajah guru-guru sumingrah saat itu. Beragam agenda jadi manuver seperti pengaturan
jadwal pelajaran, mendukung percepatan vaksinasi, juga integrasi aplikasi Dapodik dan PeduliLindungi demi segera terealisasinya PTM. Sayang, senyum sumingrah itu kini hilang gairah oleh virus yang tiada
henti bermutasi.

Baca juga:  Keselamatan Jadi Prioritas Utama PTM, Adaptasi Kebiasaan Baru Perlu Dibumikan

Varian Omricon dari SARS-CoV-2 yang diwartakan dapat menyebar lima kali lebih cepat dari versi Delta jadi gara-garanya. Selain pengawasan oleh guru, mekanisme pelaksanaan PTM 100 persen sejatinya cukup selektif dalam kepesertaan. Pertama, syarat capaian vaksinasi dosis ke-2 bagi pendidik dan tenaga kependidikan harus dipenuhi paling sedikit 80 persen.

Pemerintah pun sudah gencarkan vaksinasi anak dalam rentang usia 12-17 tahun sejak Juli 2021, dan usia 6-11 tahun sejak Desember 2021 lalu. Selanjutnya, durasi PTM juga dibatasi paling banyak enam jam pelajaran sehari.

Jika satu jam pelajaran tingkat Sekolah Dasar adalah 35 menit, maka siswa dalam satuan pendidikan tersebut paling lama berada di sekolah adalah 210 menit atau hanya 3,5 jam. Lalu dari sisi partisipasi peserta didik, izin orang tua/wali juga menjadi hal yang fundamental.

Orang tua/wali berhak menentukan apakah peserta didik yang mereka asuh di rumah boleh mengikuti PTM atau memilih untuk melakukan PJJ hingga tahun akademik 2021/22 usai. Dengan adanya aplikasi PeduliLindungi, pemerintah harusnya dengan mudah dapat melacak kapan dan di mana seseorang terinfeksi SARS-CoV-2 ini.

Baca juga:  Cegah COVID -19, Siswa Polri Dikembalikan ke Polres

Hal yang dulunya digadang-gadangkan sebagai tracing atau penelusuran kontak erat. Sayangnya langkah ini seperti tidak berlaku pada pergerakan peserta didik yang sepulang sekolah tak bisa dikontrol.

Mereka bisa saja nongkrong dengan teman sejawat tanpa protokol kesehatan yang ketat, atau pergi liburan bersama keluarga dan kerabat. Pelabelan “klaster sekolah” ini jadi kambing hitam bahwa sekolah telah abai menerapkan aturan pemerintah.

Padahal kalau dilihat dari segala aspek, institusi pendidikan sangat serius dalam pendisiplinan protokol kesehatan. Perjuangan para guru untuk dapat
mengejar ketertinggalan oleh degradasi capaian
belajar jadi terasa sia-sia.

Jika memang satuan pendidikan harus ditutup untuk meminimalisir penyebaran Covid-19, terapkanlah sesuai aturan dan berikan kebijakan tertentu bagi guru
untuk dapat melakukan proses pembelajaran
tanpa harus bertele-tele.

Penulis, Asisten Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia

BAGIKAN