DENPASAR, BALIPOST.com – Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) meluncurkan buku “Padma Bhuwana” di Gedung Ksirarnawa-Taman Budaya, Denpasar, Sabtu (12/2). Buku “Padma Bhuwana” ini mengupas tentang pembangunan Bali dengan masing-masing taksunya.
Menurut Cok Ace bahwa kekuatan penggerak aktif yang inheren dalam prinsip-prinsip alam ditransformasikan ke dalam konsepsi ruang (space). Ruang – dan waktu pada aspek yang lain adalah penggerak utama seluruh sistem kehidupan.
Faktanya, tidak ada satu pun sistem yang berada di luar ruang dan waktu. Ruang menyediakan arena bagi tindakan, sedangkan waktu menggerakkan perubahannya.
Hindu mengekspresikan kekuatan ruang dan waktu ini dalam simbolis dewa-dewa. Salah satunya adalah Padmabhuwana, konsepsi ruang kosmis laksana bunga Padma (tunjung, teratai atau, lotus), di mana pada setiap ruang dikuasai oleh spirit kedewataan.
Konsepsi Padma Bhuwana mengajarkan bahwa ruang itu satu (eka), tetapi terbagi-bagi menjadi banyak (aneka), dan setiap ruang dikuasai oleh spirit kedewataan tertentu. Padma Bhuwana dengan pola delapan helai bunga Padma (astadala) dan satu pusat di tengah yang dihubungkan dengan kekuasaan sembilan dewa (Dewata Nawasanga), inilah digambarkan secara utuh dalam kidung Aji Kembang di atas.
Sembilan ruang ini digambarkan mempunyai karakteristik dan fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan spirit kedewataan yang menguasai, selayaknya fungsi-fungsi organ vital dalam tubuh manusia. Walaupun seluruh ruang mencerminkan satu kesatuan yang utuh dan padu, tetapi ia berbeda dalam bentuk, karakter, dan fungsi (nama-rupa).
Perbedaan bentuk, karakter, dan fungsi ruang ini menuntut penyesuaian dari seluruh aktivitas di dalam ruang tersebut, sehingga antara wadah dan isinya selaras. Dalam buku tersebut, juga tersirat bahwa Kebahagiaan akan terwujud apabila antara wadah dan isi, ruang dan tindakan, benar-benar harmonis.
Ibarat memakai baju piyama saat melakukan rapat resmi, ini bukanlah semata-mata persoalan boleh dan tidak boleh, namun dapat dipastikan bahwa tidak banyak orang yang merasakan bahagia ketika mereka salah kostum seperti itu.
“Logika sederhana inilah yang sesungguhnya memantik keinginan titiang untuk menjabarkan konsepsi Padmabhuwana dalam konteks pembangunan Bali dalam buku ini.
Masalah mendasarnya adalah, sudahkah pembangunan Bali sesuai antara wadah dan isinya?” tutur Guru Besar di ISI Denpasar ini.
Lebih lanjut, Cok Ace mengatakan bahwa mengacu pada lontar Padmabhuwana yang menyatakan bahwa Mpu Kuturan, sekitar abad ke-11, menyebut Bali sebagai Padmabhuwana. Danghyang Nirartha pada abad k-15 juga menyatakan hal yang sama. Artinya, Bali telah digambarkan sebagai satu kesatuan ruang yang dijaga oleh kemahakuasaan Dewata Nawasanga dengan atribut, karakter, dan fungsi masing-masing.
Dalam ruang inilah, seluruh aktivitas masyarakat Bali berlangsung untuk mewujudkan tujuan hidupnya, moksartham jagadhita. Artinya, apabila masyarakat Bali meyakini bahwa seluruh tindakannya dipayungi oleh kekuatan para dewa, maka sudah sepatutnya hidupnya sejahtera. Namun pada kenyataannya, kesejahteraan dan kebahagiaan hidup masyarakat Bali masih belum sepenuhnya bisa diwujudkan.
Refleksivitas terhadap keterpukuran pariwisata Bali saat pandemi Covid-19, yang berimplikasi luas terhadap kondisi perekonomian masyarakat Bali, termasuk meningkatnya angka kemiskinan, semakin memperkuat keyakinan titiang bahwa ada banyak aspek yang masih harus diperbaiki dalam pembangunan Bali. Kembali lagi, harmoni antara wadah dan isi sebagai sumber kebahagiaan hidup itulah yang belum terwujud dalam pembangunan Bali saat ini.
Lebih lanjut, Wagub Cok Ace juga mengatakan bahwa Harmoni wadah dan isi adalah esensi Padmabhuwana dalam pembangunan Bali yang dihadirkan dalam buku tersebut. “Harus kita akui bahwa pembangunan Bali selama ini masih sulit melepaskan diri dari utopia pariwisata. Seolah-olah, hanya pembangunan kepariwisataan yang dapat menggerakkan perekonomian Bali sehingga semua daerah berloma-lomba untuk mengembangkan pariwisata di daerahnya. Kita telah melupakan bahwa Padmabhuwana mengajarkan setiap ruang memiliki karakteristik taksu masing-masing sehingga tidak mungkin dikembangkan dengan pola yang sama”, ungkapnya.
Dijelaskan, taksu adalah kekuatan intrinsik yang tidak tampak (niskala), tetapi menentukan keberhasilan segala yang tampak (sakala). Taksu memastikan setiap potensi dapat berkembang optimal, jika dan hanya jika, ia dikembangkan dalam ruang yang tepat.
Oleh karena itu, seluruh program pembangunan Bali harus dimulai dengan menggali taksu setiap wilayah, dan Padmabhuwana menyediakan konsepsi untuk itu. Bagaimana membangun wilayah Timur, Selatan, Barat, Utara, dan Tengah, haruslah disesuaikan dengan taksu menurut spirit kedewataan yang menguasainya.
Sejalan dengan visi pembangunan Bali “Nangun Sat Kerthi Loka Bali”, maka konsepsi Padmabhuwana relevan dijadikan kerangka pendekatan untuk pemetaan kewilayahan baik secara sakala maupun niskala. Secara sakala bahwa prioritas pembangunan di setiap wilayah kabupaten/kota harus didasari karakteristik geografis, demografis, serta potensi sumber daya dominan.
Optimalisasi seluruh potensi tersebut haruslah didasari karakteristik dan fungsi setiap Dewata Nawasanga yang menaungi wilayah tersebut sehingga terbangun taksu yang meniscayakan semua potensi berkembang maksimal. Berdasarkan pemetaan inilah, maka pembangunan dan pemberdayaan potensi harus menyasar seluruh elemen Sad Kerthi, yakni jiwa masyarakatnya (Atma Kertih), kualitas SDM-nya (Jana Kertih), tata ruang wilayahnya (Jagat Kertih), dan seluruh elemen alam serta lingkungan biotik yang berada di dalamnya (Samudera, Wana, dan Danu Kertih).
Jadi, konsepsi Padmabhuwana menyediakan landasan teoretis maupun praksis untuk mewujudkan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali. “Tanpa bermaksud menyatakan buku ini sempurna, tetapi titiang mempunyai keyakinan yang kuat bahwa buku ini perlu dibaca oleh seluruh lapisan masyarakat dan khususnya para pemimpin daerah, untuk merefleksikan kembali pembangunan Bali yang telah dilaksanakan saat ini, serta keberlanjutannya pada masa depan. Bagaimana kita menggali segenap potensi wilayah tanpa ketergantungan pada sektor pariwisata, akan memberi dampak lebih besar terhadap penguatan fondasi perekonomian Bali,” tutur Pangelisir Puri Ubud tersebut.
Cok Ace, menegaskan bahwa pembangunan Bali dengan manajemen satu pulau (One Island One Management) menjadi syarat mutlak untuk mewujudkan pembangunan integral, holistik, dan berkelanjutan. Dengan demikian, visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali dapat diwujudkan melalui pola pembangunan Bali yang terencana, terkoordinasi, dan terkoneksi antarwilayah. “Bukan berarti kita mengabaikan pariwisata, melainkan agar semuanya berjalan secara integral dan holistik demi kesejahteraan masyarakat Bali,” pungkas Cok Ace seraya menyerahkan buku Padma Bhuwana kepada Gubernur Bali, Wayan Koster. (Adv/balipost)