MANGUPURA, BALIPOST.com – Desa Adat Tuban, Kecamatan Kuta telah merancang sejumlah kebijakan dalam penyelenggaraan kegiatan serangkaian Nyepi Çaka 1944 pada Maret mendatang. Salah satunya membatasi jumlah krama adat yang terlibat dalam setiap prosesi yang dilakukan hingga meniadakan kegiatan yang dapat menimbulkan kerumunan.
Bendesa Adat Tuban, Wayan Mendra, mengatakan pembatasan keterlibatan krama desa adat dikarenakan mencegah meluasnya penyebaran
Covid-19. Terlebih, berdasarkan data yang ada menyangkut perkembangan status dan akumulasi jumlah krama Bali yang terkonfirmasi positif Covid-19 dari tahun sebelumnya menunjukan tren peningkatan.
“Setelah PPKM Level III Jawa-Bali ditetapkan, maka kami di desa sudah mempersiapkan Melasti dan kegiatan Nyepi diselenggarakan terbatas maksimal
50 persen dari kapasitas tempat ibadah,” ungkapnya.
Menurutnya, pihak desa adat telah mempersiapkan Joli untuk Pratima, Daksina Linggih. Pelaksanaan Tawur Kesanga saat Ngerupuk juga dilaksanakan terbatas maksimal 50 persen. ”Malasti akan lunga ke
segara dengan kendaraan roda empat terbatas. Pastinya dilaksanakan dengan penerapan prokes yang ketat,” ujarnya.
Selain melakukan pembatasan, sejumlah kegiatan
serangkaian Nyepi juga ditiadakan. Seperti Festival Pasar Majalangu yang seyogyanya dilaksanakan pada Ngembak Geni atau sehari pasca Nyepi. Selain Pasar Majalangu, Desa Adat Tuban juga tidak melaksanakan kegiatan pembuatan ogoh-ogoh dan pawainya saat
pengerupukan ditiadakan.
“Kami di Desa Adat Tuban sudah sepakat untuk mengurangi aktivitas serangkaian Nyepi. Salah satunya, Pasar Majalangu ditiadakan, karena identik dengan kerumunan dan bersenang senang,” ungkapnya.
Kendati demikian, tradisi, adat dan budaya di Desa Adat Tuban tetap terjaga dengan baik, kendati Tuban merupakan kawasan heterogen dengan identitas ras, etnis, agama dan budaya yang beragam. “Desa
Tuban ini adalah desa yang heterogen, namun keberadaan mereka sangat banyak, mereka berpartisipasi dengan baik,” urainya.
Mendra berpendapat setiap warga memiliki hak dan
kewajiban yang sama untuk menjaga lingkungan adat dan budaya tempat mereka tinggal. “Kami berharap dengan partisipasi ini tidak ada pengkotak-kotakan masyarakat,” katanya.
Upaya menjaga dan melestarikan tradisi, adat dan
budaya ini juga terlihat di tengah penanganan wabah
Covid-19. Masyarakat tetap antusias menjalankan tradisi yang menjadi warisan leluhur. “Saat Covid-19 mewabah pun tradisi tetap jalan, namun kami melakukan sosialisasi dan pembinaan-pembinaan
kepada seluruh lapisan masyarakat tentang Covid-19,
menyadarkan mereka untuk patuhi semua aturan yang
dikeluarkan oleh guru wisesa (pemerintah),” katanya. (Parwata/balipost)