DENPASAR, BALIPOST.com – Bali kini dihadapkan pada bahaya sampah masker. Akademisi Kesehatan Lingkungan I Gede Herry Purnama, Senin (21/2) mengatakan, sampah masker termasuk limbah B3 dan bila tidak tertangani dengan baik akan menjadi masalah baru.
Dari sisi dasar hukumnya, memang ada Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2021 tentang pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup. “Jadi selain sampah medis, masker juga bahan berbahaya dan beracun karena memenuhi salah satu kaidah dari limbah bahan berbahaya dan beracun yaitu infeksius,” ungkapnya.
Dilihat dari kenyataan di lapangan, sampah masker terutama dari rumah tangga atau domestik masih dikelola sama dengan sampah biasa. Warga biasanya membuang dan tercampur dengan sampah masker dengan rumah tangga lainnya atau bahkan dibuang sembarangan.
Jika dilihat dari nilai ekonomis, sampah masker tidak bernilai ekonomis. Berbeda dengan botol infus, yang memang bersifat B3, tapi begitu dicuci maka sudah tidak bersifat B3 lagi. Itulah yang disebut bernilai ekonomis. “Kalau sampah masker kan tidak dan sekarang ini masih dikelola sama dengan sampah domestik atau RT lainnya,” imbuhnya.
Selain itu, belum ada pengelolaan yang benar terkait sampah masker ini sehingga jelas akan menimbulkan masalah baru karena limbah B3 rumah tangga belum dikelola dengan baik. Idealnya harus ada model pengelolaan sampah masker dari RT. Misalnya, dipisahkan dari limbah RT lain yang ujung-ujungnya harus diinsenerasi atau dibakar.
Jika dikalkulasikan, sampah masker yang dihasilkan rumah tangga cukup banyak. Apalagi pandemi Covid-19 terjadi berkepanjangan sehingga menambah volume sampah masker. Bisa dibayangkan masker yang idealnya dipakai selama 4 jam dengan rata–rata aktivitas satu orang di luar rumah selama 12 jam, maka satu orang paling tidak membutuhkan 3 masker tiap hari.
Jika dalam satu keluarga rata–rata terdapat 4 orang sehingga dalam satu hari dibutuhkan 12 masker. Jika berat masker diperkirakan 50 gram kali 12 masker sama dengan 600 gram. Maka satu keluarga dalam satu hari menghasilkan 600 gram sampah masker. Jika dikali 365 hari dan jumlah penduduk Bali, maka hasilnya sampah masker yang dihasilkan sangat banyak.
Sementara sampah masker di RS tak perlu dikhawatirkan lagi karena RS telah memiliki model pengelolaan untuk limbah B3. Asalkan SOP pengelolaan dilakukan dengan benar termasuk kerja sama dengan pihak ketiga terkait pengelolaan limbah medis, harus dipastikan benar–benar berjalan dengan benar. “RS sudah memiliki model pengelolaan, sementara yang menjadi masalah adalah sampah masker RT ini yang belum memiliki model pengelolaan. Padahal volumenya jauh lebih banyak dari RS,” tandasnya.
Menurut Koordinator Bank Sampah Bali yang juga Ketua Bali Wastu Lestari Wayan Riawati, di masa pandemi Covid-19 ini, terjadi peningkatan sampah medis di Bali, khususnya masker yang tidak bisa ditangani oleh sembarang orang mengingat sampah tersebut bersifat infeksius. Dalam hal ini, perlu edukasi kepada masayarakat dalam hal pengelolaan sampah masker ini. Bank sampah berperan memberi edukasi pada masyarakat untuk menggunakan masker kain yang bisa dicuci, dipakai berkali-kali, tidak menggunakan masker sekali pakai yang akhirnya menimbulkan masalah baru di tengah pandemi Covid-19.
“Bank sampah tidak hanya mengurusi sampah plastik tapi kami mengurusi 41 jenis barang, namun sampah masker belum boleh dibawa ke bank sampah, harus dimusnahkan. Mekanisme pengumpulannya juga tidak melalui bank sampah,” tukasnya.
Menurutnya, dalam penanganan sampah masker perlu peran pemerintah untuk memusnahkannya karena tidak boleh dibakar atau dibuang sembarangan. Maka dari itu, perlu jasa angkut sampah yang mungkin sementara dibawa ke TPA dulu, setelah di TPA dikelola pemerintah. (Citta Maya/balipost)