I Gusti Ketut Widana. (BP/Istimewa)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Pemerintah RI resmi mencanangkan Candi Prambanan di Daerah Istimewa Yogyakarta, Candi Borobudur, Candi Pawon dan Candi Mendut di Jawa Tengah menjadi tempat ibadah umat Hindu dan Buddha dari seluruh dunia. Kesepakatan ini tertuang dalam Nota Kesepakatan Pemanfaatan Candi Prambanan dan Candi Borobudur untuk Kepentingan Agama Umat Hindu dan Umat Buddha Indonesia dan Dunia.

Nota Kesepakatan ini ditandatangani secara luring oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X di Pendopo Komplek Kepatihan Kantor Gubernur DIY dan disaksikan secara daring oleh Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Angela Tanoesoedibjo, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud-Ristek Hilman Farid, serta Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, Jumat (11/2).

Menag mengatakan pemanfaatan Candi Prambanan dan Candi Borobudur untuk kegiatan keagamaan juga langkah nyata pemerintah dalam merealisasikan program strategis destinasi wisata superprioritas yang dicanangkan Presiden Jokowi. “Candi Prambanan dan Candi Borobudur ini memang secara nyata memiliki kelebihan luar biasa. Baik dalam hal nilai spiritual, kebudayaaan, dan keindahan alamnya”.

Baca juga:  Mengajegkan Budaya dan Ekonomi Hindu

Sementara itu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan : “Ini menunjukkan Bhineka Tunggal Ika sudah terwujud sejak masa lampau. Hidup berdampingan antar umat beragama menjadi wujud Bhineka Tunggal Ika yang diaktualisasikan sebagai semangat dan strategi integrasi bangsa, moderasi beragama, kohesi sosial, dan kerukunan umat beragama di Indonesia (BP, Sabtu, 12/2).

Di lain pihak, Pamong Budaya Ahli Madya, Balai Konservasi Borobudur (BKB), Tri Hartono mengatakan, dalam UU No 11 tahun 2010 tentang cagar budaya disebutkan ada jenis cagar budaya yaitu living monument (monumen hidup) dan dead monument (monumen mati). Untuk living monument, merupakan bangunan yang saat ditemukan masih digunakan pemeluknya. Sedangkan dead monument, merupakan bangunan-bangunan yang saat ditemukan sudah tidak digunakan oleh pemeluknya.

Pada pasal 87 disebutkan, cagar budaya yang pada saat ditemukan sudah tidak berfungsi seperti semula dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu, dan terbatas serta dilakukan dengan izin pemerintah. Jadi, kalau mau difungsikan sebagai pusat ibadah, UU-nya harus diubah.

Baca juga:  Prambanan Ditutup Saat Perayaan Nyepi

Lepas dari itu, bagi umat Hindu, kabar “dihidupkan” kembali Candi Prambanan, memang sangat menggembirakan dan patut disambut antusias, lantaran sudah sekitar 12 abad distatuskan sebagai “monumen mati”, meski “roh/jiwanya” tetap hidup. Candi Prambanan yang didirikan pada masa Dinasti Sanjaya di bawah pemerintahan Raja Mataram Kuno Rakai Pikatan (840-856 M), adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Bangunan candi ini dipersembahkan untuk Trimurti atau tiga dewa utama : Brahma, Wisnu, dan Siwa.
Menghidupkan kembali Candi Prambanan sama artinya dengan menjadikannya “monument hidup”, memungsikannya sebagai Puja Mandala umat Hindu Indonesia dan dunia, setara Pura Besakih, Pura Batur, Pura Gunung Salak, dll yang sejak dibangun hingga kini tetap eksis sebagai media ekspresi bhakti umat Hindu.

Hanya saja, penting dicermati, mengingat masih belum direvisinya UU No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yang sama artinya berpotensi melakukan pelanggaran hukum. Sebab secara yuridis kedudukan Nota Kesepakatan berada di bawah UU.

Baca juga:  Ribuan Umat Buddha Ikuti Indonesia Tipitaka Chanting dan Asalha Mahapuja

Selain itu, membaca release lampiran nota kesepakatan yang berisi deskripsi rencana kegiatan keagamaan Hindu di Candi Prambanan, ternyata umat Hindu tetap berposisi sebagai pengguna, tepatnya pengisi acara/event dengan kemegahan dan keindahan Candi Prambanan sebagai background,
plus mendapat dispensasi berupa pembebasan tiket (gratis) pada kegiatan tahunan seperti rangkaian Nyepi, dan keringanan biaya tiket masuk untuk kegiatan enam bulanan seperti Galungan, Kuningan, Saraswati, persembahyangan rutin, dll.

Jadi nota kesepakatan dimaksud tidak serta merta menempatkan umat Hindu sebagai “pemilik” (pangemong/pangempon) Candi Prambanan Hak kelola atas Candi Prambanan dengan segala daya tarik, fungsi atau pemanfaatannya masih tetap berada di tangan PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko (Persero). Satu pesan penting, jangan sampai umat Hindu terjebak dalam euforia ritual keagamaan, lalu memicu adrenalin oknum intoleran menendang lagi sesaji/sesajen yang dihaturkan.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN