SYDNEY, BALIPOST.com – Lambatnya program suntikan dosis penguat (booster) vaksin COVID-19 bisa memicu gelombang baru di tengah ancaman subvarian BA.2 Omicron yang sangat menular. Hal itu diperingatkan Pemerintah Australia, seperti dikutip dari Kantor Berita Antara, pada Senin (13/3)
Negara itu berjuang mengatasi rekor kasus dan lonjakan kasus rawat inap pada awal gelombang Omicron, namun wabah itu sudah mereda dalam enam pekan terakhir. Sebagian besar negara bagian telah melonggarkan pembatasan sosial. Aturan wajib masker di ruang tertutup dicabut dan sektor bisnis meminta karyawan untuk kembali bekerja ke kantor.
Namun kasus harian kemungkinan bisa berlipat dua dalam 4-6 pekan ke depan ketika subvarian baru itu diperkirakan akan menjadi dominan, kata Menteri Kesehatan New South Wales Brad Hazzard.
Kondisi itu kemungkinan akan memicu lebih banyak pasien di rumah sakit dan lebih banyak orang meninggal, kata Hazzard kepada ABC. Sekitar 20.000 kasus baru dan empat kematian dilaporkan oleh Australia pada Senin siang. Sejak awal pandemi, total kasus di negara itu mencapai lebih dari 3,1 juta dengan 5.590 kematian.
Menurut data resmi, baru sekitar 57 persen orang berusia 16 tahun ke atas telah menerima dosis booster vaksin COVID-19 di New South Wales, yang ditinggali oleh sepertiga dari 25 juta penduduk Australia. Angka itu berada di bawah rata-rata nasional 65 persen.
Sekitar 95 persen penduduk negara bagian itu telah disuntik dua dosis. “Ada sejumlah kebingungan,” kata Hazzard, yang mengakui adanya “masalah besar” di kalangan masyarakat untuk mendapatkan dosis booster.
Lebih dari dua juta orang di negara bagian itu yang saat ini memenuhi syarat tapi masih belum menjalani vaksinasi booster. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bulan lalu mengatakan bahwa subvarian BA.2 Omicron tampaknya lebih menular ketimbang subvarian asli BA.1.
Para pakar kesehatan dan ahli epidemiologi telah meminta pemerintah untuk mempertimbangkan lagi sejumlah pembatasan, termasuk aturan wajib masker di toko-toko swalayan dan tempat tertutup lainnya.
Namun, Perdana Menteri Scott Morrison akhir pekan lalu mengatakan para pemimpin politik ingin Australia beranjak ke fase baru “hidup bersama COVID-19” dengan memperlakukan penyakit itu seperti flu biasa. (Kmb/balipost)