Oleh John de Santo
Sebuah video link menggambarkan sekelompok remaja elite berkumpul di sebuah lapangan sepak bola, kemudian satu per satu tampil memamerkan merk dan harga sepatu, kemeja, celana, topi dan apa pun yang sedang mereka kenakan. Ada yang memakai T-Shirt seharga US$ 500, sepatu seharga US$ 300, atau topi senilai US$ 250.
Budaya pamer (flexing culture) di media sosial tengah melanda kehidupan kita dewasa ini. Ironisnya, hal itu terjadi di tengah sebagian besar masyarakat tengah dihimpit kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Bagaimana kita menyikapi fenomena sosial ini?
Bahasa gaul ‘flexing’ atau pamer kekayaan dan kemewahan, awalnya berkembang dalam budaya hip-hop dan rap di kalangan warga kulit hitam Amerika Serikat. Istilah flex atau flexing pertama kali digunakan oleh raper Ice Cube di 1990 dalam lagunya ‘It was a good day’. Kata flexing ia gunakan untuk menunjukkan keberanian dan keinginan suka pamer. Singkatnya, berani pamer atas capaian. Jadi, ketika Anda memamerkan barang-barang mahal seperti pakaian versace, jam tangan rolex, tas gucci atau zephira, juga foto kunjungan anda ke tempat-tempat liburan eksotik dan makanan mewah di hotel-hotel berbintang, itu hak Anda. Sejauh Anda tak berniat untuk berpongah diri atau untuk melukai perasaan orang lain.
Bahkan dalam salah satu artikelnya majalah Psychology Today mengemukakan, “Anda boleh-boleh saja bercerita tentang pencapaian anda, karena itu dapat berfungsi sebagai afirmasi diri yang pada gilirannya menumbuhkan rasa pede dan inspirasi bagi orang lain”. Dari sudut pandang ini, flexing bukan sesuatu yang buruk. Dengan begitu, penulis sendiri tidak terganggu melihat seorang pengacara kondang yang suka pamer dan menjuluki diri sebagai ‘Pengacara 30 miliar’. Artinya, kemana pun ia pergi, semua yang ia kenakan, mulai dari sepatu, setelan jas, jam tangan, sabuk, cincin berlian dan aksesoris lain, jika ditotal seharga Rp 30 miliar. Mungkin ia sedang menggunakan flexing untuk membangun dan mempertahankan citra diri sebagai pengacara mahal.
Bertentangan dengan ulasan di atas, ada anggapan lain yang mengatakan bahwa, orang yang suka pamer barang mewah di medsos, belum tentu kaya atau sukses benaran. Prof. Rhenald Kasali, Ph.D., seorang akademisi dan praktisisi binis bercerita bahwa, pernah dalam salah satu penerbangannya ia duduk berdampingan dengan seorang pria tua yang berpenampilan sangat sederhana dengan pakaian lusuh, tapi santun dan ramah.
Sesampai di bandara tujuan, Prof. Kasali dan para penumpang lain makan siang di sebuah restoran. Ketika hendak membayar makan siang, baru diketahui kalau makan siang mereka sudah dibayar oleh pria tua itu. Mereka semua terperangah.
Belakangan baru diketahui bahwa, pria tua berpenampilan sederhana yang telah membayar makan siang mereka itu, tak lain dan tak bukan adalah Liem Shioe Liong, salah satu konglomerat terkaya Indonesia. Sejak saat itu, Prof. Kasali, lebih berhati-hati untuk menilai orang dari penampilannya. Karena penampilan bisa mengecoh.
Berbagai kajian menyimpulkan bahwa budaya pamer (flexing culture) merupakan langsung dari kapatalisme membentuk pola hidup konsumeristik. Pola hidup tersebut kemudian persaingan pasar yang semakin keras dalam persaingan merebut perhatian kosumen. Jadi, dapat kita simpulkan, easy money sebagaimana yang sering ditampilkan flexing oleh para artis itu tidak ada. Karena kaum selebriti yang suka pamer itu mungkin adalah para pekerja keras. Dan bukan mustahil, kalau kebiasaan suka pamer itu pun jadi bagian dari profesi mereka.
Banyak teori mengatakan, sulit seseorang menjadi kaya raya di bawah usia tiga puluh tahun, kalau bukan karena menang undian atau karena harta warisan.
Harus kita akui, bahwa secara umum orang berpandangan flexing atau kebiasaan suka pamer itu negatif. Dalam bahasa Jawa ada ungkapan, bondo donyo ora jaminan urip tenterem, artinya kekayaan di dunia tidak bisa menjamin hidup tenteram. Oleh karena itu, kekayaan material tak pantas dipamerkan. Dalam kamus bahasa gaul bahkan ada ungkapan, ‘flex on someone’ yang artinya pamer diri untuk membuat orang lain merasa tak berdaya, menjadi iri dan sakit hati. Niatnya memang sengaja untuk mengecilkan orang lain.
Pamer diri semacam ini tidak sehat dan umumnya berasal dari orang dengan rasa ego yang besar. Orang bertipe ini juga, tak memiliki rasa empati saat banyak orang sedang terpuruk dan miskin akibat pandemi Covid-19. Keinginan untuk pamer diri semacam ini seringkali mencerminkan rasa tak nyaman yang bersangkutan terhadap dirinya sendiri.
Dia bukanlah sesiapa jika tanpa tas Louis Vuitton atau mobil Ferarri. Orang itu sebenarnya terperangkap dalam keinginan untuk terus mengonsumsi (conspicious consumption). Bagi penulis tindakan memamerkan pengeluaran yang berlebihan terhadap barang-barang material dan kemewahan hanya untuk mendapatkan perhatian publik itu, kurang pantas di tengah kondisi masyarakat umum yang sedang susah. Bagaimanapun para tokoh masyarakat yang suka pamer kekayaan itu mempunyai tanggung jawab sosial.
Penulis, Pendidik dan Pengelola Rumah Belajar Bhinneka, berdomisili di Yogyakarta