Made Widana. (BP/Istimewa)

SINGARAJA, BALIPOST.com – Zaman milenial seperti sekarang tidak bisa dipungkiri akan mengkikis prilaku dan kemauan generasi muda untuk mencintai warisan tradisi, seni dan budaya Bali. Kondisi ini kalau tidak diantisipasi, tak menutup kemungkinan warisan budaya itu sendiri benar-benar akan ditinggalkan.

Sadar dengan kondisi itu, Desa Adat Rendetin di Kecamatan Kubutambahan menggulirkan kebijakan dalam melestarikan kesenian sakral (bebali) di desa adat. Kebijakan ini sejalan dengan Visi Misi Nangun Sat Kerthi Loka Bali (NSKLB) yang dijalankan Gubernur Bali Wayan Koster.

Kelian Desa Adat Rendetin, Made Widana dihubungi Selasa (15/3) mengatakan, desa adat yang dipimpinnya ini memiliki hanya satu banjar adat. Krama desa yang tercatat sampai sekarang sebanyak 306 Kepala Keluarga (KK).

Sebanyak 90 persen krama desa menggeluti profesi menjadi petani perkebunan, terutama cengkeh. Krama desa sendiri bertangung jawab penuh sebagai pengempon Pura Kayangan Tiga yang meliputi Pura Puseh, Bale Agung, dan Pura Dalem. Selain itu, krama juga bertangungjawab atas Pura Kayangan Desa meliputi Pura Pucak Gunung Sari, Pucak Melanting, Peninjauan, Pura Beji, dan Pura Pucuk Bang. “Sejak terbentuk banjar adatnya hanya satu dan namanya pun sama yaitu Rendetin. Sejak terbentuknya juga krama kami bertangungjawab penuh atas warisan Pura Khayangan Tiga dan Khayangan Desa,” katanya.

Baca juga:  Seluruh Pementasan Peed Aya Aktualisasi Harkat Martabat Manusia Unggul

Selain kebijakan pada Baga Parahyangan, pihaknya menggulirkan kebijakan untuk membentengi warisan kesenian sakral agar tetap lestari. Salah satunya adalah Tari Baris Gede yang wajib dipentaskan setiap Piodalan di seluruh pura yang ada di wewidangan desa adat. Pembinaan ini dilakukan dengan cara membentuk regenerasi penari Baris Gede. Dengan cara itu, tokoh penari yang sekarang sudah sebagian besar usia lanjut (lansia), bisa digantikan oleh penari dengan usia yang notabene masih remaja atau bersatus pelajar.

Baca juga:  Undiksha Buka Penerimaan 3 Ribu Mahasiswa

Kebijakan lain yang juga dijalankan adalah membentuk sekaa Tari Rejang Renteng. Sekaa ini dibentuk oleh para krama istri di lingkungan desa adat. “Kami mewarisi Tari Baris Gede dan ini setiap upacara piodalan wajib dipentaskan, sehingga kami melakukan pelestarian dengan pembinaan dan kebijakan ini sejalan dengan kebijakan Pak Gubernur kita yang komitmen melindungi warisan seni trardisi dan budaya Bali melalui kebijakan NSKLB,” katanya.

Di sisi lain Made Widana menyebut, krama desa sejauh ini sangat terbantu dengan perhatian Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali. Dari 2016 hingga 2021, krama desa dapat menuntaskan perbaikan Pura Bale Agung yang mengalami kerusakan akibat gempa bumi yang berpusat di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 2018 silam.

Baca juga:  Paripurna DPRD Bali, Koster Nilai Kemajuan Pembangunan Budaya Kurang Signifikan

Selanjutnya, di tahun ini desa adat telah menyusun program untuk perbaikan Pura Puseh. Pura ini sekarang kondisinya mengalami kerusakan karena faktor usia.

Hanya saja, biaya yang diperlukan tergolong besar, sehingga selain memanfaatkan BKK Gubernur Bali, pihaknya juga akan mengajukan proposal ke pemerintah yang lebih tinggi. “Sekarang kami juga sudah mengajukan proposal untuk perbaikan Pura Puseh karena butuh dana besar selain BKK dari Gubernur, kami mengakses bantuan lain, dan semoga program ini bisa berjalan,” tegasnya.

Desa Adat Rendetin juga telah berhasil membangun wantilan yang reprensenatif. Infrastruktur ini berhasil diwujudkan berkat BKK Pemprov Bali. “Kami sangat terbantu dengan BKK itu. Ke depan, program ini mudah-mudahan berlanjut, sehingga desa adat keberadaanya semakin lestari,” tegasnya. (Mudiarta/balipost)

BAGIKAN