Ilustrasi. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Sejak Covid-19 melanda Indonesia, kasus dugaan investasi bodong semakin marak. Kerugian secara nasional mencapai Rp 5 triliun. Untuk itu krama Bali mesti berhati-hati memilih berinvestasi.

Belum lama ini sejumlah warga Bali mendatangi Mapolda Bali melaporkan bahwa mereka menjadi korban aplikasi robot trading. Hal itu juga terjadi di Mabes Polri. Sementara dalam bentuk lain, Doni Salmanan telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan terkait kasus Quotex. Doni Salmanan terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.

Pengamat investasi Prof. Gede Sri Darma, Rabu (16/3) mengatakan, gaya hidup FOMO (Fear of Missing Out) menjadi salah satu penyebab masih adanya masyarakat yang tertipu dengan investasi ilegal. Padahal sebelum berinvestasi, calon investor tentunya telah diprospek oleh agen atau afiliator akan keuntungan dari menjalankan investasi ilegal tersebut.

Karena perasaan FOMO atau takut ketinggalan aktivitas tertentu termasuk ketinggalan investasi yang sedang happening, sehingga masyarakat pun terketuk untuk mencoba. Investasi ilegal menurutnya sudah sejak lama hidup di masyarakat, tidak hanya kali ini dengan mencuatnya penipuan yang dilakukan Doni Salmanan dan Indra Kusuma alias Indra Kenz, tapi sudah sejak tahun 2000-an.

Banyak masyarakat khususnya masyarakat Bali mengalami kerugian akibat investasi ilegal. Namun pengalaman tahun-tahun sebelumnya seolah tidak menjadi pembelajaran bagi masyarakat. Hal itu kata Sri Darma karena para agen atau afiliator memperkenalkan dengan model bisnis baru dengan bumbu-bumbu pengalaman manis dari afiliator atau si agen.

Baca juga:  Dari "Bali Bonk Ban" hingga Kasus COVID-19 Baru di Bali Makin Landai

Doni Salmanan dan Indra Kenz misalnya, dengan bantuan teknologi, memanfaatkan sosial media seperti youtube dan instagram memberi bumbu penyedap untuk penonton kontennya agar tertarik untuk mencicipi. Bahkan untuk lebih meyakinkan, afiliator itu juga berbagi pengalaman boncos atau merugi saat melakukan trading atau berinvestasi. Alhasil penonton pun percaya. Apalagi dua orang tersebut mempertontonkan kehidupan mewahnya yang diklaim sebagai hasil usaha trading.

Secara logika dan perhitungan bisnis, tidak ada aktivitas ekonomi yang bisa menghasilkan profit di atas 20% apalagi 50% dalam waktu singkat. “Suku bunga deposito saja 3% per tahun, obligasi (ORI) 4% – 5% per tahun, bisnis atau usaha riil sekitar 10% -15%, apalagi usaha ritel profitnya sekitar 1% – 2%.

Begitu juga investasi saham di pasar modal, profit dari kenaikan harga saham di atas 20% atau kenaikannya tidak wajar akan di- suspend oleh OJK selaku regulator. Maka dari itu masyarakat lebih aman dalam berinvestasi di pasar modal. Menurut Sri Darma dengan logika profit tersebut seharusnya krama Bali bisa memilah-milah investasi yang aman dan sehat dan yang merugikan.

Deputi Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan II dan Perijinan OJK Regional VIII Bali dan Nusa Tenggara, Yan Jimmy Hendrik Simarmata mengatakan, pemahaman masyarakat akan keuangan termasuk investasi di dalamnya, berdasarkan data OJK sudah menunjukkan peningkatan. Berdasarkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2019, tingkat literasi keuangan dan inklusi keuangan 2019 masing-masing mencapai 38,03% dan 76,19%.

Baca juga:  Investasi Bodong Bermutasi seperti Virus, OJK dan Kominfo Mesti Bergerak Cepat

Angka ini cukup menggembirakan karena Indonesia telah berhasil melampaui target yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam Peraturan Presiden No. 82 tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) sebesar 75% untuk tingkat inklusi keuangan.

Sementara target tingkat literasi keuangan yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 50 tahun 2017 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen sebesar 35% juga telah terlampaui. Angka ini menunjukkan peningkatan cukup signifikan dari survei sebelumnya di tahun 2016, dimana terdapat peningkatan pemahaman keuangan (awareness) masyarakat sebesar 8,33% serta peningkatan akses terhadap produk dan layanan jasa keuangan sebesar 8,39%.

Survei ini merupakan kali ketiga yang dilakukan OJK yang melibatkan 12.773 responden dari 34 Provinsi dan 67 Kabupaten/Kota yang mencakup seluruh sektor jasa keuangan yang berada dibawah pengawasan OJK, mulai dari sektor Perbankan, Pasar Modal, hingga Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) seperti Perasuransian, Lembaga Pembiayaan, Dana Pensiun, Pergadaian, dan LJK formal lainnya.

Pengukuran SNLIK 2019 menggunakan indikator yang sama dengan dua survei sebelumnya di tahun 2013 dan 2016. Untuk tingkat literasi keuangan terdiri dari indikator pengetahuan, keterampilan, keyakinan, sikap dan perilaku, sementara tingkat inklusi keuangan menggunakan parameter penggunaan (usage) produk/layanan keuangan dalam satu tahun terakhir.

Bila dilihat berdasarkan strata wilayah, untuk wilayah perkotaan tingkat literasi dan inklusi keuangan mencapai 41,41% dan 83,60%. Sementara tingkat literasi dan inklusi keuangan masyarakat perdesaan adalah 34,53% dan 68,49%. Hal ini menunjukkan bahwa baik dari sisi pemahaman maupun penggunaan produk/layanan keuangan, masyarakat yang berada di wilayah perdesaan masih cukup tertinggal dibandingkan masyarakat yang tinggal di wilayah kota.

Baca juga:  Sempat Viral, Kelompok Anak Punk Diamankan

Diketahui pula, persentase literasi keuangan responden berdasarkan sektor keuangan paling tinggi diduduki oleh sektor Perbankan dengan nilai sebesar 36,12% yang disusul sektor Perasuransian sebesar 19,40%. Sementara persentase literasi keuangan terendah berdasarkan sektor jasa keuangan ada di Lembaga Keuangan Mikro sebesar 0,85%.

Hal ini berarti mayoritas pemahaman masyarakat Indonesia di sektor jasa keuangan masih terbatas di sektor perbankan. Tidak jauh berbeda, jumlah persentase masyarakat yang menggunakan produk/layanan keuangan berdasarkan sektor jasa keuangan juga masih didominasi oleh sektor perbankan (73,88%).

Jimmy Hendrik Simarmata menambahkan, masyarakat mesti peka terhadap tawaran investasi apapun serta pelajari risikonya. Jika ada tawaran investasi, cek terlebih dahulu legalitasnya dan logis.

Logis artinya, profit yang didapatkan apakah wajar atau tidak, karena rata – rata return atau profit pada instrumen pasar uang sebesar 2% – 6% per tahun, rata – rata return di instrumen surat utang (obligasi) sebesar 4,9% – 9,5% per tahun. Sedangkan di pasar modal, rata-rata kenaikan IHSG sebesar 12% per tahun. Maka jika ada tawaran investasi dengan return atau profit sangat tinggi, perlu dicurigai. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN