DENPASAR, BALIPOST.com – Kemunculan Joged Bumbung jaruh (porno) telah memunculkan citra negatif, bukan saja terhadap tari itu melainkan juga terhadap budaya pertunjukan Bali. Oleh karena itu, pemerintah diminta dapat memperluas ruang tampil bagi Tari Joged Bumbung Klasik.
Upaya ini, kata Budayawan, Prof. Dr. I Wayan Dibia, sebagai salah satu bentuk untuk penyelamatan salah satu tari pergaulan Bali ini. “Agar kemunculan Joged Bumbung jaruh tidak sampai mematikan tari Joged Bumbung itu sendiri, perlu segera dilakukan upaya penyelamatan,” ujarnya saat menjadi narasumber dalam workshop Tari Joged Bumbung di Taman Budaya, Denpasar, Jumat (18/3).
Dikatakan, bahwa Tari Joged Bumbung yang diperkirakan lahir di tahun 1940-an di Desa Kalapaksa, Kabupaten Buleleng ini, sejak 1990-an perlahan-lahan berubah menjadi tontonan cabul atau “jaruh”. Bahkan, sejak itu Joged Bumbung mengutamakan aksi-aksi seksual vulgar di atas pentas itu sudah tersebar luas di media sosial.
Menurut Prof. Dibia, tari Joged Bumbung yang mengutamakan aksi-aksi seksual tentunya telah melanggar tiga landasan kesenian Bali, yakni satyam (kebenaran), siwam (kesucian) dan sundaram (keindahan). “Dalam tradisi budaya Bali, gerak-gerak yang bersifat jaruh yang dilakukan tidak pada tempatnya, juga dipandang sebagai sesuatu yang merusak kesucian dan tentu tidak patut dilakukan di depan umum,” ucap Guru Besar Emeritus ISI Denpasar ini.
Upaya-upaya pembinaan dan penyelamatan tari Joged Bumbung agar tidak terus berkembang ke arah porno telah dilakukan sejak 2010 oleh Pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Kebudayaan bekerja sama dengan Listibiya Bali, MUDP dan juga didukung oleh pihak kepolisian. Apalagi, Joged Bumbung telah mendapatkan pengakuan UNESCO.
Prof. Dibia menyampaikan sedikitnya tiga hal untuk upaya penyelamatan tari Joged Bumbung. Pertama, pemerintah daerah dapat memperluas ruang tampil bagi tari Joged Bumbung Klasik (joged yang sesuai pakem).
“Selama ini ruang tampil tari Joged Bumbung klasik masih relatif terbatas. Jika masyarakat telah sering menyaksikan pertunjukan Tari Joged Bumbung Klasik, maka masyarakat akan semakin tahu perbedaan tari joged yang pantas untuk di depan publik atau tidak,” katanya.
Kedua, menciptakan tari Joged Bumbung inovasi dengan wajah dan teknik penampilan baru. Misalnya tari Joged Bumbung dengan 6-10 orang penari dan dengan pola koreografi yang apik dan menarik.
Ketiga, mengadakan festival-festival Joged Bumbung secara berkala mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten, bahkan hingga provinsi, sehingga masyarakat memiliki lebih banyak kesempatan untuk menyaksikan tarian sesuai pakem.
Prof Dibia pun menyoroti “virus” Joged jaruh telah masuk pada pertunjukan Arja Muani, Prembon, Bondres dan termasuk Calonarang. Bahkan dalam Bondres aksinya menjadi lebih vulgar karena merasa penarinya itu laki-laki. “Gerak porno yang berlebihan dalam Bondres walaupun mungkin bisa membuat penonton tertawa, secara tidak langsung telah melecehkan nilai-nilai kewanitaan,” tandasnya. (Winatha/balipost)