Djoko Subinarto. (BP/Istimewa)

Oleh Djoko Subinarto

Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) telah resmi disahkan menjadi Undang-Undang (UU). Dengan diresmikannya UU ini, rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, semakin mendekati kenyataan.

Terlebih kini kepala dan wakila kepala Otorita IKN telah dilantik. Presiden Joko Widodo sendiri telah menetapkan nama ibukota baru pengganti Jakarta, yakni Nusantara. Selain itu, Presiden Joko Widodo telah pula menyetujui desain Istana Kepresidenan yang dirancang oleh I Nyoman Nuarta. Tentu saja, ibukota yang baru nanti harus jauh lebih baik daripada Jakarta dan harus bisa menjadi model ideal kota ramah difabel bagi kota-kota lainnya di seluruh Indonesia.

Jujur saja, nyaris belum ada kota di negeri ini yang benar-benar ramah bagi para difabel atau
penyandang disabilitas. Oliver (1990) mendefinisikan difabel sebagai kelompok individu yang memiliki masalah khusus sehingga mereka menjadi berbeda dengan penduduk normal lainnya.

Mereka, misalnya, masih mendapat kesulitan untuk masuk ke pasar kerja, kurang mendapat kesempatan untuk bisa mengakses sumber-sumber sosial-kultural hingga sulitnya mendapatkan akses terhadap berbagai fasilitas publik. Dalam soal kesempatan kerja, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah pusat, pemerintah daerah (Pemda), badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD) wajib memperkerjakan paling sedikit dua
persen penyandang disabilitas dari total jumlah pekerja.

Baca juga:  Puluhan Penyandang Disabilitas Ikut Program Penciptaan Wirausaha

Sedangkan untuk perusahaan swasta diwajibkan merekrut sedikitnya satu persen tenaga
kerja dari kalangan penyandang disabilitas. Meskipun demikian, hingga kini ada saja laporan dari berbagai daerah di negeri ini ihwal masih sulitnya para penyandang disabilitas memperoleh kesempatan kerja.

Masih adanya marjinalisasi terhadap para penyandang disabilitas, membuat kaum penyandang disabilitas sesungguhnya kerap mendapatkan perlakuan yang diskriminatif di
tempat mereka tinggal. Glesson (2001) melihat setidaknya ada tiga bentuk perlakuan diskrimantif yang lazim dialami oleh para penyandang disabilitas selama ini.

Pertama, hambatan fisik. Banyak penyandang disabilitas menjadi terbatas geraknya karena
tidak tersedianya fasilitas jalan serta rambu jalan serta petunjuk-petunjuk lain yang memadai
bagi mereka. Kedua, arsitektur bagunan/gedung yang tidak ramah bagi para penyandang disabilitas. Ini menyebabkan hanya orang-orang normal saja yang bisa mengakses berbagai bangunan/gedung yang ada. Ketiga, sarana transportasi yang lebih mengutamakan
layanan kepada mereka yang normal.

Baca juga:  Telan Dana Rp1,43 Triliun, Presiden Resmikan Jembatan Pulau Balang Penajam

Hampir semua sarana transportasi massal di negeri ini belum memperhatikan kebutuhan
kaum disabilitas. Dengan berbagai kesulitan dan hambatan yang selama ini dialami para penyandang disabilitas ini, mereka tentu saja tidak bisa menikmati kualitas kehidupan secara maksimal. Di samping itu, mereka mengalami kesulitan untuk mampu mengembangkan segenap potensi diri yang mereka miliki.

Dengan demikian, seluruh warga, tanpa terkecuali, terperhatikan dan terpenuhi segenap
haknya. Hak-hak warga yang harus dipenuhi di antaranya adalah hak menerima pelayanan
dasar seperti pendidikan dan kesehatan, hak perlindungan dari eksploitasi, kekerasan dan
perundungan; hak mendapatkan air minum yang aman serta sanitasi yang baik; hak mendapatkan pekerjaan yang layak; hak untuk berpartisipasi dalam keluarga, komunitas dan masyarakat; hak menjadi warga yang setara dan memiliki akses kepada semua layanan publik tanpa memandang etnik, agama, pendapatan, jender atau cacat tubuh yang dimilikinya serta hak untuk memiliki akses ke berbagai ruang terbuka hijau dan berekreasi dengan aman.

Baca juga:  Menangkal Politikus Toksik

Semua warga, baik itu mereka yang termasuk kelompok normal maupun kaum penyandang disabilitas, memiliki peluang yang sama dalam berbagai bidang kehidupan. Terdapat
sekurangnya tiga hal yang perlu dilakukan para perencana dan pengelola kota dalam
upaya memenuhi hak-hak para penyandang disabilitas. Pertama, melakukan pendataan
dan pemetaan warga penyandang disabilitas menyangkut di mana mereka tinggal dan di
mana mereka sekolah dan atau bekerja.

Kedua, melengkapi kota dengan berbagai fasilitas. Ketiga, merancang dan menyediakan berbagai program khusus dalam bidang sosial dan kebudayaan bagi warga penyandang disabilitas serta menyediakan berbagai kursus serta pelatihan. Sama seperti warga lainnya, kaum penyandang disabilitas memiliki hak untuk berpartisipasi dalam semua bidang kehidupan.

Penulis Kolumnis dan Bloger

BAGIKAN