Oleh I Wayan Ramantha
DI harian Bali Post (16 Maret 2022), tersurat berita kasus penggelapan dana oleh oknum pengurus sebuah LPD (Lembaga Perkreditan Desa) sebesar Rp 4.421.632.060 yang dianggap sebagai kerugian negara. Para terdakwa di samping dituntut dengan pidana penjara selama empat tahun dan sembilan bulan, juga dituntut membayar uang pengganti ke kas negara sebesar kerugian seperti tersebut di atas.
Jumlah kerugian itu, hampir dua kali lipat dibandingkan dengan modal sendiri (ekuitas) LPD yang hanya mencapai Rp2.376.403.000 (setelah dihitung dengan standar akuntansi yang umum berlaku). Kejadian serupa sebetulnya telah banyak terjadi di beberapa LPD, bahkan telah ada yang berkekuatan hukum tetap (Incrach).
Tuntutan dan keputusan pengadilan atas perbuatan curang atau penggelapan uang oleh oknum pengurus LPD tidak pernah membantu, bahkan selalu memperparah struktur, aliran, likuiditas dan kesehatan keuangan LPD yang bersangkutan. Tuntutan dan keputusan pengadilan yang secara normatif kita asumsukan adil secara hukum, sama sekali tidak adil secara finansial.
Bila angka-angka di atas kita pakai sebagai simulasi untuk menilai keadilan secara finansial, dan angka itu kita lihat dari sudut pandang neraca, maka ada dua makna yangbm bisa kita cermati. Pertama, sumber dana LPD berasal dari modal sendiri dan dana masyarakat dalam bentuk tabungan dan deposito.
Bila tuntutan aparat penegak hukum seperti terurai sebelumnya telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka penyetoran ke kas negara sebesar Rp 4.421.632.060 akan berasal dari modal sendiri LPD sebesar Rp 2.376.403.000 dan sisanya dari
tabungan atau deposito masyarakat sebesar Rp 2.045.229.060.
Makna kedua, kalau kondisi itu yang terjadi maka sejak memperoleh kekuatan hukum tetap, secara finansial modal sendiri LPD yang dikumpulkan berpuluh-puluh tahun melalui penyisihan enam puluh persen labanya setiap tahun (di samping donasi pemerintah yang hanya rata-rata Rp 2 juta rupiah pada saat pendirian LPD saja) akan hilang (disetor ke kas negara).
Begitu juga tabungan atau deposito mayarakat sebesar Rp 2 miliar lebih itu akan tersetor ke kas negara. Padahal, tabungan atau deposito merupakan utang LPD kepada masyarakat yang harus dibayar pada saat jatuh tempo.
Bahkan untuk tabungan, masyarakat memiliki hak untuk setiap saat menariknya. Dampak lanjutan dari kejadian ini adalah di tahun-tahun berikutnya kesehatan LPD akan semakin terganggu.
Gangguan pertama, terjadi pada perbandingan antara modal sendiri dengan simpanan masyarakat yang dalam istilah teknisnya disebut Capital Adequacy Ratio (CAR). Dalam peraturan Kesehatan LPD, CAR ditetapkan minimum 12 persen.
Sementara bila terjadi keputusan pengadilan seperti contoh di atas, CAR LPD akan menjadi 0 persen, karena LPD tidak memiliki modal sendiri lagi. Modal nol persen dalam adagium bisnis sering disebut sebagai “modal dengkul”.
Gangguan kedua, akan terjadi pada aliran dana (cash flows) dan tingkat keseimbangan antara waktu kas masuk dan kas keluar akan terganggu, yang dalam istilah teknisnya disebut Mismatch. LPD harus membayar utang tabungan kepada masyarakat yang setiap saat bisad ditarik, atau deposito akan ditarik setelah jatuh tempo, sementara dana yang digelapkan oleh oknum pengurus tidak bisa ditagih kepada yang bersangkutan karena dia berkewajiban menyetor
ke kas negara sejumlah dana yang dia gelapkan.
Gangguan ketiga, LPD akan mengalami kesulitan dana segar atau dana lancar yang dalam istilah teknis disebut Likuiditas. Ketentuan mengenai kesehatan LPD pada aspek likuiditas ditetapkan perbandingan antara dana masyarakat yang berhasil dihimpun dengan yang dapat disalurkan dalam bentuk kredit
(Loan to Deposit Ratio/LDR) minimal 10 persen, bahkan di masa Covid-19 disepakati 20 persen.
Penggelapan dana oleh oknum pengurus LPD yang bila dia dihukum untuk membayar ke kas negara (bukan ke kas LPD), jelas akan mengganggu likuiditas LPD. Mereka yang melakukan kecurangan atau melakukan penggelapan atas dana LPD memang harus dihukum seadil-adilnya.
Adil secara hukum, dan adil pula secara finansial. Harapannya kemudian, penegakan hukum dan penegakan prinsip-prinsip keuangan dapat berjalan seirama dalam membantu penegakan jalan LPD, guna menunjang kemandirian Desa Adat di Bali.
Penulis, Akuntan Publik dan Guru Besar FEB Unud