Ribut Lupiyanto. (BP/Istimewa)

Oleh Ribut Lupiyanto

Hari Air Sedunia (HAS) diperingati pada setiap tanggal 20 Maret. Adapun tahun 2022 ini tema yang diusung adalah “groundwater” atau airtanah. Airtanah merupakan kebutuhan vital makhluk hidup. Pasokan airtanah berasal dari air hujan dalam siklus hidrologi. Sayangnya di Indonesia sering dijumpai fenomena klasik dan rutin yaitu banjir dan kekeringan.

Air hujan merupakan karunia Tuhan, namun juga tidak jarang menjadi sumber bencana. Kunci yang harus ditemukan adalah bagaimana memposisikan air hujan agar kembali pada fungsi asalnya sebagai sumber karunia. Ketika penghujan bisa aman dari banjir dan saat kemarau bisa surplus air.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat lebih dari 2.600 bencana alam terjadi di Indonesia sejak 1 Januari hingga 30 November 2021. Bencana tersebut didominasi dengan bencana alam hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin puting beliung, kekeringan hingga kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

BNPB mencatat  rincian data bencana hidrometeorologi yaitu banjir dengan 1.110 kejadian, puting beliung 677 kejadian, dan tanah longsor 545 kejadian. Kemudian, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 263 kejadian, gempa bumi 27 kejadian, gelombang pasang dan abrasi 27 kejadian, dan kekeringan 15 kejadian.

Baca juga:  Konversi Kompor Listrik

“Terlampau banyak atau terlampau sedikit air akan merusak dunia”. Pepatah ini cukup tepat menggambarkan kondisi lingkungan Indonesia. Selama ini langkah yang dilakukan berbagai stakeholders masih kurang terintegrasi dan cenderung responsif. Pemecahan masalah masih responsif, terbatas bagaimana menyuplai air saat kemarau atau bagaimana menolong korban saat banjir. Hal tersebut tidak salah, namun masih kurang visioner dan belum solutif. Secara meteorologis, kondisi musim mempunyai siklus yang dapat dijadikan referensi bagi upaya antisipatif permasalahan sumber daya air yang berjangka panjang. Kurangnya air saat kemarau dan melimpahnya air saat penghujan merupakan variabel yang saling berhubungan.

Tingkat perkembangan wilayah yang cukup pesat ternyata menyisakan ekses terhadap kondisi lingkungan. Wilayah telah berkembang secara ekonomi namun mundur secara ekologis. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan pola hidup masyarakat telah memicu terjadinya krisis lingkungan termasuk krisis air. Sebagai daerah yang seharusnya makmur air, namun terjadi suatu ironi yakni adanya bencana banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Pertumbuhan pesat penduduk telah meningkatkan konversi lahan dari lahan terbuka ke lahan terbangun yang mengakibatkan kerusakan ekosistem di daerah aliran sungai (DAS) dan peningkatan aliran permukaan. Faktor inilah penyebab utamanya.

Baca juga:  Bukan Gerbong yang Bergerak ke Masa Lalu

Panen Air Hujan

Kodatie (2004), menyebutkan selama ini diprediksikan 25 persen air hujan menjadi aliran mantap sisanya terbuang ke laut. Aliran mantap tersebut terdiri dari air tertahan serta yang tertampung waduk dan daerah retensi. Inilah cadangan air sumber kebutuhan kehidupan. Sedangkan yang mengalir ke laut adalah terbuang percuma saja.

Strategi mengatasi permasalahan air adalah bagaimana meningkatkan aliran mantap tersebut. Run-off yang selama ini hanya terbuang percuma, perlu dikelola dengan baik. Salah satu cara yang efektif memanfaatkan air hujan adalah model rain water harvesting (pemanenan air hujan). Melalui model ini, kepentingan jangka pendek dapat membuka kesempatan untuk dimanfaatkan sebagai irigasi, cuci, dan mandi, serta untuk jangka panjang dapat menambah suplai air tanah dengan meresapkannya.

Negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Jerman, Singapura, Swedia, Jepang, India, dan Sri Lanka, bahkan dengan treatment tertentu mampu memanfaatkan air hujan untuk mencukupi kebutuhan air minum.

Baca juga:  Hari Arak Bali

Kompleksnya permasalahan lingkungan, termasuk pengelolaan air hujan dalam rangka mengatasi krisis air, tentunya menuntut penanganan terintegrasi antar-stakeholders, antarwilayah, dan antarbidang. Sedangkan kerja sama antarwilayah merupakan solusi untuk mengakomodasi kepentingan lingkungan yang lebih optimal dengan pendekatan ekologis (bioregionalisme) bukan administratif semata.

Persoalan yang dirasakan lain, penegakan regulasi masih lemah. Birokrasi banyak tumpang tindih dan berjalan sendiri-sendiri. Warisan budaya dan nilai moral spiritual cukup lekat dalam kehidupan masyatakat, namun belum mampu menggerakkan kesadaran dan partisipasi secara masif. Ironitas ini sejak lama merupakan dilema klasik pengelolaan lingkungan, termasuk sumber daya air.

Konsep pemanfaatan air hujan sebagai alternatif solusi menghadapi krisis air, akan lebih efektif melalui partisipasi dan kemandirian masyarakat. Kiranya bukan hal mustahil untuk mewujudkan pengelolaan wilayah yang surplus air saat kemarau dan aman dari banjir saat penghujan. Syaratnya yaitu efisien saat kekurangan dan menyimpannya saat berlebihan.

Penulis, Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration)

BAGIKAN