Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Kegiatan Presiden Jokowi menginap di Ibu Kota Nusantara (IKN) pada Senin (14/3), di awal momentum pemulihan pariwisata pascapandemi Covid-19 memiliki makna strategis. Pertama, menunjukkan keamanan dan kondusivitas situasi dalam negeri akan kegiatan offline yang dilakukan dengan kapasitas peserta yang mulai meningkat, dengan penerapan protokol kesehatan dan kewaspadaan yang telah teruji selama ini. Kedua, merepresentasikan kerinduan publik akan kegiatan rekreasi di alam terbuka dan tempat yang berbeda, di antara pepohonan yang rindang, dengan keluarga dan komunitas. Terakhir, pilihan berkemah dengan menggunakan tenda menunjukkan adanya peluang akan moda akomodasi baru yang mulai tumbuh di Tanah Air untuk mendapat pengalaman yang baru dan berkesan menginap di alam terbuka.

Konsep camping telah bertransformasi menjadi glamping, memadukan unsur glamour dengan standar hotel berbintang yang disediakan bagi para tamu. Dalam prakteknya, glamping juga memenuhi kebutuhan konsumen untuk mendapat fasilitas dan kenyamanan seperti di rumah. Glamping didefinisikan sebagai jenis kemah yang melebihi tingkat kenyamanan dan kemewahan dalam kemah tradisional. Pilihan jenis glamping seperti tree house atau rumah pohon, tenda dengan fasilitas yang lengkap, akomodasi dengan bentuk unik seperti bubble, kotak kaca, mobil dan dengan fasilitas lengkap, cabin, dan bungalow (Utami, 2020).

Baca juga:  Beban Bali Makin Berat

Glamping sebagai salah satu moda akomodasi di Tanah Air, relevan dengan tiga perubahan perilaku berwisata pascapandemi Covid-19, karena itu memiliki peluang untuk dikembangkan dalam konteks pariwisata di Indonesia. Pertama, wisatawan domestik benar-benar menjadi pelopor yang mengawali normalisasi pariwisata di era next normal saat ini. Peran penting wisatawan domestik bagi kehidupan bangsa pernah benar-benar strategis saat posisi pariwisata RI di kancah internasional terhimpit oleh aneka rupa tekanan global. Pengalaman seperti ini pernah dialami ketika kebijakan diterapkan pelarangan melakukan perjalanan dan pencekalan dari otoritas negara-negara asing.

Baca juga:  Masa Depan Batik Indonesia

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengampanyekan kesiapan wisatawan dalam berwisata di masa next normal, baik pada saat pre-trip, trip hingga post-trip. Sebelum berwisata, wisatawan wajib memastikan kondisi kesehatan tubuh sebelum traveling dalam keadaan prima dan memastikan negatif Covid-19 melalui swab atau rapid test. Pada saat perjalanan, protokol kesehatan harus diterapkan dengan self-discipline, memberi apresiasi kepada penyedia jasa pariwisata yang tersertifikasi CHSE dan cashless dalam melakukan transaksi.

Kedua, strategi lama juga diterapkan oleh Kemenparekraf saat ini dalam mendorong pergerakan wisatawan domestik di dalam negeri, yakni mengintegrasikan paket wisata yang memenuhi permintaan wisatawan yang semakin localize, customize, smaller in size dan personalize dalam melakukan perjalanan wisata antardestinasi. Misalnya, pola perjalanan wisata segitiga emas Joglosemar (Jogja, Solo, Semarang) dengan daya tarik utama Candi Borobudur, Medan dan Danau Toba, juga Bima Raya yang terdiri dari Bali, Bima dan Sumbawa yang berdekatan dengan Labuan Bajo. Traveling menjadi individual dan skala kecil, seperti staycation, family group, solo traveler, FIT (Free Individual Travelers).

Baca juga:  Jangkar Moral Desa

Ketiga, nature and ecotourism, wellness tourism, culture tourism, culinary tourism akan semakin meningkat diminati wisatawan. Segmentasi ekowisata meskipun memiliki karakter selektif dalam kunjungan, tetapi diproyeksikan memiliki tingkat pengeluaran yang tinggi. Dalam sebuah wawancara yang dilakukan penulis dengan pelaku usaha adventure, diinformasikan bahwa pengeluaran per orang untuk wisatawan asing untuk mendaki gunung di Indonesia di atas Rp100 juta dengan durasi waktu seminggu. Wisatawan ekowisata lebih serius dan niat dalam berwisata. Dalam tiga konteks inilah glamping memiliki relevansi dan peluang pasar yang tinggi di kalangan wisatawan domestik.

Penulis Dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN