I Wayan Sukarsa. (BP/Istimewa)

Oleh I Wayan Sukarsa

Permasalahan sampah sampai saat ini belum tertangani secara optimal diakibatkan semakin banyaknya limbah dihasilkan masyarakat, kurangnya tempat pembuangan sampah menjadi sumber polusi, pencemaran tanah, air dan udara. Volume dan jenis sampah setiap tahun terus meningkat berkorelasi dengan meningkatnya pendapatan dan taraf hidup ditandai terjadinya pergeseran nilai budaya dari hidup hemat dan sederhana ke arah gaya hidup hedonisme dan
pragmatisme.

Pandemi COVID-19 sampai saat ini belum berakhir memenculkan berbagai
kebijakan pembatasan aktivitas manusia dengan tatanan kehidupan baru sebagai
upaya menekan penyebarannya, menimbulkan peningkatan belanja bahan makanan meningkat, berkontribusi pada penggunaan plastik sekali pakai meningkat jauh.

Sampah merupakan bagian dari pada lim￾bah yang berbentuk padat yang terbuang dari hasil aktifitas manusia maupun alam yang belum memiliki nilai ekonomis. Secara garis besar sampah dibedakan menjadi: Sampah organik/basah, anorganik/kering dan Sampah berbahaya. Sampah merupakan bagian dari
masalah lingkungan yang sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk, aktivitas sosial ekonomi, budaya, teknologi serta organisasi sosial yang berkembang (Hannigan, John A.1995).

Baca juga:  Mitigasi Gegar Hidrologi Bali

Seakin banyak jumlah penduduk semakin banyak aktivitas sosial ekonomi dan budaya yang dilakukan, semakin banyak energi yang dikonsumsi secara kualitas maupun kuantitas sampah yang dihasilkannya semakin banyak termasuk sampah yang tidak dapat membusuk (refuse). Jumlah penduduk dan kegiatan ekonomi yang dilakukan, dia￾sumsikan produksi sampah mencapai 3,68 lt/orang/hari (Pemda Provinsi Bali, 2007: II-43).

Kemajuan teknologi cenderung menambah volume dan kualitas sampah karena
pemakaian bahan baku semakin beragam, cara pengepakan (pengkemasan) dan produk manufaktur yang semakin beragam pula. Selain itu, kecendrungan produsen yang memproduksi barang-barang komoditas dan barang elektorik yang menggunakan teknologi modern juga menghantarkan konsumen (masyarakat) untuk berperilaku boros atau gaya hidup konsumtif, yaitu sekali pakai langsung buang. The Law of Energy Entropy bahwa peningkatan pola pemanfaatan energi juga menin￾gkatkan jumlah entropi dalam bentuk sampah atau limbah sehingga masalah lingkungan cenderung meningkat dan semakin krusial.

Baca juga:  Mengatasi Kecanduan Gadget

Pengelolaan sampah yang tidak diurus dengan baik atau pem￾buanganya sembarangan ke kawasan terbuka akan mengakibatkan pencema￾ran baik udara, air dan tanah (Sicular 1989). Eksploitasi lingkungan adalah menjadi isu
yang berkaitan dengan pengurusan sampah terutama sekitar perkotaan. Banyak
negara besar melakukan incineration atau pembakaran yang menjadi alternatif dalam pembuangan sampah.

Permasalahan yang dihadapi untuk proses ini adalah biaya pem￾bakaran lebih mahal dibandingkan dengan sistem pembuangan akhir (sanitary landfill).
Sebagai upaya mengurangi dampak yang ditimbulkan sampah pemerintah menetapkan pembangunan rendah karbon dalam RPJMN 2020-2024 dan peta jalan pencapaian NDC (Nationally Determined Contribution) untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca pada tahun 2030 sebesar 29% dengan menetapkan
lima sektor yang menjadi prioritas utama.

Baca juga:  Janji Kampanye

Salah satu sektor adalah pengelolaan limbah terpadu (H. Airlangga, 2021).
Untuk mengurang efek emisi rumah kaca yang ditimbulkan sampah perlu menerapkan kebijakan secara menyeluruh dari hulu (pihak produsen), bagi Industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mer￾eka untuk memudahkan proses daur-ulang, pemakai (konsumen) penerapan ekonomi sirkular, transformasi ekonomi ke arah yang lebih “hijau dengan 5R, yaitu Reduce, Reuse, Recycle, Recovery dan Repair dan tanggung jawab akhir perluasan tanggung jawab
Produsen (Extended Producer Responsibility–EPR) meminta produsen menggunakan kembali produk-produk dan kemasannya yang mengarah pada pengurangan konsumsi sumber daya primer dan produksi limbah dimana bahan baku dapat digunakan berulang untuk mendukung dan menjaga keberlanjutan kelestarian lingkungan.

Penulis adalah Analis Kebijakan pada Badan Litbang Kabupaten Badung

BAGIKAN