MANGUPURA, BALIPOST.com – Selain perang ketupat, Kabupaten Badung memiliki banyak tradisi unik lainnya, salah satunya Maperang Gandu. Tradisi warisan leluhur Desa Adat Tumbak Bayuh, Kecamatan Mengwi ini hingga kini tetap dilestarikan.
Bendesa Adat Tumbak Bayuh, Ida Bagus Gede Widnyana mengatakan tradisi Maperang Gandu juga disebut dengan tajen pengangon atau perang tipat gandu. Tradisi ini Meperang sebagai wujud syukur dari masyarakat atas karunia yang diperoleh dalam segala usahanya baik di pertanian dan peternakan sudah berjalan lancar.
“Tradisi ini sudah diwariskan secara turun-temurun. Cara berbakti kami kepada Tuhan ini diwujudkan dalam tradisi Maperang Gandu yang digelar bertepatan dengan Tumpek Kandang atau Tumpek Uye,” ungkapnya.
Dikatakan, tradisi perang gandu juga digelar bersamaan dengan pujawali yang ditujukan kepada Ida Bhatara yang berstana di Pelinggih Pan Balang Tamak. Pelinggih ini berada di Jaba Pura Desa lan Puseh Tumbak Bayuh. “Jadi tradisi ini tidak bisa dipisahkan dengan makna dari tumpek kandang. Karena sebagai penghormatan kepada Ida Bhatara Siwa dalam perwujudan Rare Angon, dan Ida Bhatara yang berstana di pelinggih Pan Balang Tamak,” jelasnya.
Menurutnya, tradisi ini telah ada sejak berdirinya Pura Khayangan Tiga di desanya. Hanya saja, pihaknya tidak mengetahui secara pasti kapan kali pertama tradisi ini mulai dilaksanakan.
Namun, diketahui Desa Tumbak Bayuh ada sejak zaman pemerintahan Raja Mengwi yang berada di prasasti Dalem Petilik Badbadan. Di sana tertulis sekitar tahun 1600 sampai 1700 masehi. “Mungkin setelah ekspansi Kerajaan Mengwi sekitar tahun tersebut dilakukan pembangunan,” ucapnya.
Dikatakan, dalam prosesi perang gandu diikuti oleh anak-anak atau krama rare. Kemudian berdasarkan paruman desa pada tahun 2016 disepakati untuk mengikutkan remaja.
Prosesi perang gandu, diawali dengan pujawali yang dihaturkan kepada Ida Bhatara yang berstana di Pelinggih Pan Balang Tamak, dilanjutkan dengan persembahyangan bersama. “Kami melihat dari simbol Rwa Bhineda, itu adalah pertemuan dari usia yang mendekati pernikahan. Sehingga sampai sekarang yang mengikuti tradisi itu dari anak-anak hingga remaja. Dari siswa kelas empat SD sampai sebelum menikah,” pungkasnya. (Parwata/balipost)