SEMARAPURA, BALIPOST.com – Setelah pariwisata sepi pascaterdampak pandemi COVID-19, masyarakat Nusa Penida kini lebih serius bertani rumput laut, sembari menunggu pariwisata pulih. Sejak terjadi pandemi, harga rumput laut stabil diangka Rp 12 ribu sampai Rp 15 ribu per kg. Bahkan, saat ini harganya terus naik hingga catat rekor tertinggi Rp 32 ribu per kg.
Areal pertanian rumput laut banyak ditemukan di sepanjang garis pantai kepulauan Nusa Penida. Seperti di Pulau Nusa Lembongan. Selain memiliki pantai berpasir putih, dan alam bawah laut yang indah, pertanian rumput laut di pulau ini, kini juga cukup menjanjikan. Pertanian rumput laut menghampar di kawasan Pantai Lembongan dan Pantai Jungut Batu, dengan berlatar Gunung Agung megah di Bali Daratan.
Hasil panen tahun ini cukup memuaskan bagi masyarakat setempat. Karena harga rumput laut terus merangkak naik dalam beberapa pulan terakhir. Salah satu petani rumput laut, Ni Ketut Tari di Pantai Jungut Batu, Sabtu (2/4), mengatakan untuk jenis rumput laut spinosum, dulunya stabil pada harga Rp 12 ribu sampai 15 ribu per kg.
Namun, dia mengaku belakangan semakin antusias, setelah hargaa rumput laut mencapai Rp 32 ribu per kg. “Saya mengolah lima petak lahan bersama suami dan anak, karena keluarganya saat ini tidak bekerja lagi, karena pariwisata masih sepi,” katanya.
Dia menambahkan, petani rumput laut di Lembongan dan Jungut Batu rata-rata mengelola tiga sampai lima petak lahan di pesisir pantai, dengan jarak tanam hingga tiga ratus meter dari garis pantai ke tengah laut. Dengan naiknya harga rumput laut ini, dia dan petani lainnya mengaku mengantongi keuntungan hingga Rp 3 juta tiap petaknya, dengan jarak masa panen 10 sampai 15 hari. “Jika tidak dijual kering ada juga yang beli basah untuk jajan, kue-kue atau rujak harganya lebih murah lagi sedikit, tapi tidak perlu menjemur lagi,” katanya.
Hal serupa juga disampaikan petani lainnya Nyoman Kurinta. Dia mengaku memikili empat petak lahan yang dia garap bersama saudaranya, mulai dari perawatan hingga proses penjemuran dan sampai ke tangan pembeli. Ia mengaku beralih kembali menjadi petani rumput laut sejak 2021 lalu, lantaran tidak memiliki pekerjaan lagi setelah putus hubungan kerja di sebuah restoran di wilayah ini.
Kurinta menambahkan, walaupun sekarang harga rumput laut cukup menggairahkan, kendala petani rumput laut selain harus berhadapan dengan gelombang tinggi saat malam hari, juga jenis penyakit pembusuk batang atau disebut ice-ice, yang merusak tanaman rumput laut. Kendala ini sulit dihadapi petani. Melihat situasi ini, Bupati Klungkung Nyoman Suwirta juga melihat sekarang masyarakat Nusa Penida sudah banyak yang menanam rumput laut.
Maka, itu artinya bahwa alternatif untuk mata pencaharian sudah ada bagi masyarakat, tidak lagi ketergantungan dengan pariwisata. Hal ini tentu harus dipertahankan ke depan oleh semua masyarakat untuk tetap membudidayakan rumput laut. Meski pariwisata nantinya kembali pulih. (Bagiarta/balipost)